TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah petisi daring di laman change.org menyerukan agar menindaklanjuti temuan dugaan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sebuah lembaga HIV-AIDS di Jakarta. Petisi itu diusulkan oleh masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Gerakan Anti Pelecehan Seksual atau Sigaps.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Selasa siang, 5 Agustus 2025, petisi yang bertajuk 'Hentikan Impunitas Kekerasan Seksual di Lembaga HIV-AIDS' itu telah ditandatangani 202 orang. "Kami menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang menjabat sebagai direktur sekaligus ketua pengurus sebuah organisasi HIV - AIDS di Jakarta terhadap seorang perempuan di dalam lembaganya sendiri," dikutip dari laman change.org pada Selasa, 5 Agustus 2025.
Sigaps menjelaskan bahwa lembaga tersebut telah membentuk tim investigasi independen yang dipimpin oleh seorang doktor psikologi yang berpengalaman menangani kasus kekerasan berbasis gender. Pada 9 Juli 2025, tim investigasi yang bekerja selama sekitar 2 bulan menyimpulkan bahwa direktur tersebut melakukan kekerasan seksual terhadap korban. Lantas investigasi itu merekomendasikan agar pelaku dicopot dari jabatan direktur sekaligus pengurus organisasi.
Namun, menurut Sigaps, organisasi tersebut belum menindaklanjuti rekomendasi hingga hari ini. "Sebaliknya, pelaku justru membentuk opini publik, menyebarkan informasi pribadi korban, dan menstigma korban seolah bukan perempuan baik-baik," katanya.
Dalam petisi itu tidak disebutkan identitas terduga pelaku maupun lembaga yang dimaksud. Akan tetapi disebutkan bahwa organisasi tersebut menjadi penerima hibah dana HIV-AIDS terbesar di Indonesia dan menjalankan program komunitas, hak asasi manusia serta gender dengan menggunakan dana bantuan global.
"Maka seharusnya, lembaga ini menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia serta prinsip pencegahan eksploitasi, pelecehan dan kekerasan seksual."
Petisi itu menyerukan beberapa hal yaitu:
1. Segera menindaklanjuti rekomendasi tim investigasi secara terbuka dan bertanggung jawab sebagai bentuk komitmen terhadap keadilan.
2. Mendorong pelaku untuk meminta maaf secara terbuka kepada korban dan publik serta mundur dari posisi kepemimpinan organisasi.
3. Menghentikan segala bentuk pembelaan terhadap pelaku atas dasar 'nama baik organisasi' karena menjaga nama baik tidak pernah bisa dibenarkan dengan mengorbankan keadilan
4. Memastikan korban mendapatkan dukungan dan pemulihan, termasuk akses terhadap layanan psikologis, hukum, serta jaminan keamanan di lingkungan sosialnya.
5. Mewajibkan pelaku untuk menjalani proses konseling dan rehabilitasi psikososial guna mencegah terulangnya kembali tindakan serupa.
Pengambil keputusan dalam petisi ini ialah Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Country Coordinating Mechanism The Global Fund dan Kementerian Kesehatan.