
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyerahkan sepenuhnya kasus pertambangan batu bara ilegal di Ibu Kota Nusantara (IKN) kepada Aparat Penegak Hukum (APH).
Menurut Bahlil, kasus pertambangan ilegal di IKN bukan merupakan kewenangan Kementerian ESDM. Dia menilai pemerintah bertugas mengawasi pertambangan yang memiliki izin alias legal.
"Kalau tambang ilegal kan APH, kita itu kan mengawasi tambang-tambang yang ada izinnya," tegasnya saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jumat (18/7).
Kasus itu diungkap Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri. Pertambangan batu bara ilegal tersebut berada di Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, kawasan konservasi di wilayah IKN Kalimantan Timur.
"Kalau tidak ada izinnya kan bukan merupakan domain kami, itu aparat penegak hukum ya," tandas Bahlil.
Adapun Bahlil baru saja resmi membentuk Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum (Ditjen Gakkum) Kementerian ESDM dan melantik Rilke Jeffri Huwae sebagai pimpinan tertingginya.
Dia menyebutkan fokus utama dari Ditjen Gakkum adalah menata izin pertambangan mineral dan batu bara serta pengeboran migas yang ilegal. Untuk itu, dia membutuhkan peran kepolisian, kejaksaan, TNI, hingga KPK.

Sebelumnya, Direktur Tipidter Bareskrim Polri, Brigjen Pol Nunung Syaifuddin, mengatakan kasus ini terungkap setelah adanya informasi aktivitas muatan batu bara yang dibungkus menggunakan karung kemudian dimasukkan ke dalam kontainer.
Penambangan batu bara ilegal itu sudah berlangsung sejak 2016-2025. Kegiatan ilegal itu dilakukan di Pelabuhan Kaltim Kariangau Terminal (KKT) Balikpapan. Lalu, ratusan kontainer berisi ribuan karung batu bara itu dikirim ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
"Asal-usul batu bara tersebut berasal dari kegiatan penambangan ilegal di kawasan Tahura Soeharto," ujar Nunung dalam jumpa pers di Perak, Surabaya, Kamis (17/5).
"Setelah berada di terminal, kontainer batu bara dilengkapi dokumen resmi dari perusahaan pemegang izin usaha produksi (IUP), seolah-olah batu bara berasal dari penambangan resmi/pemegang IUP," tambahnya.
Selama penyelidikan pada 23-27 Juni 2025, polisi memeriksa 18 orang saksi dan menyita sejumlah dokumen. Mereka dari KSOP Kelas I Balikpapan, Operasional Pelabuhan PT KKT Balikpapan, tiga agen pelayaran, perusahaan-perusahaan pemilik IUP OP & IPP, saksi-saksi penambang, perusahaan jasa transportasi dan ahli dari Kementerian ESDM.
Hasilnya, ada tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka yakni YH dan CH yang sudah ditahan sejak 14 Juli 2025 di Rutan Bareskrim Polri dan tersangka MH yang akan segera dilakukan pemanggilan.
Akibat penambangan ilegal itu, kata Nunung, kerugian negara mencapai Rp 5,7 triliun. Jumlah itu dihitung dari deplesi (pengurangan nilai aset) batu bara dan kerusakan hutan. Jumlah itu pun berpotensi akan bertambah.
"Yang pertama adalah biaya hilangnya batu bara akibat pertambangan dari 2016 sampai 2024. Ini mencapai Rp 3,5 triliun. Kemudian total biaya kerusakan hutan dalam hal ini kayu seluas 4.236,69 hektare, adalah Rp 2,2 triliun. Jadi total sementara, estimasi sementara sedikitnya sudah terjadi kerugian senilai Rp 5,7 triliun," ujarnya.