Kisruh Royalti Lagu Belum Reda, Penyanyi Hingga PHRI Mendamba Sistem Tarif Adil dan Transparan

Liputan6.com, Jakarta Polemik royalti lagu di kalangan komposer, penyanyi, maupun pengusaha di Indonesia masih jauh dari kata usai. Belakangan tak hanya lagu. Rekaman kicau burung hingga lagu yang dilantun di resepsi pernikahan pun konon kena kewajiban royalti 2 persen.

Polemik royalti lagu yang terkait penerapan Undang-undang Hak Cipta ini disorot berbagai pihak. Tak hanya penyanyi, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI, Haryadi Sukamdani. Ia menyebut pengusaha tak keberatan bayar royalti.

Namun, Haryadi Sukamdani menekankan perlunya kejelasan skema dan tarif yang diberlakukan. Ini disampaikan tak lama setelah geger hotel di Mataram, NTB, tiba-tiba ditagih royalti musik merujuk pada UU Hak Cipta yang berlaku di Tanah Air.

“Banyak yang beranggapan pengusaha hotel dan restoran enggak mau bayar royalti, ini tidak benar. Prinsipnya PHRI mau bayar, asal ada kejelasan soal tarif,” ujar Haryadi Sukamdani dalam pernyataan resmi yang diterima Showbiz Liputan6.com, Kamis (14/8/2025).

Ahmad Dhani dikenal sebagai musisi legendaris yang konsisten memperjuangkan tentang royalti untuk pencipta lagu. Berikut 3 fakta menarik tentang royalti lagu Ahmad Dhani.

Haryadi Sukamdani mengingatkan Pemerintah bahwa penetapan tarif yang transparan dan adil harus jadi prioritas, bukan lagi menggunakan sistem “gelondongan” berdasarkan hitungan per meter persegi seperti yang selama ini diterapkan.

“Seharusnya Pemerintah hadir dalam penetapan tarif, kemudian tarif diterapkan lewat platform digital agar lebih transparan,” ujarnya. Tuntutan ini cermin keresahan pengusaha yang mendamba sistem pembayaran royalti yang akuntabel dan mudah dipahami.

PHRI melihat bahwa solusi masalah royalti lagu terletak pada pemanfaatan platform digital yang transparan. Haryadi Sukamdani kecewa ada platform yang sudah bekerja sama dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional tapi belum dimanfaatkan secara optimal.

“Saya dengar LMKN sudah bekerja sama dengan platform digital yaitu Velodiva, tetapi mengapa belum dimaksimalkan dengan baik?” keluh Haryadi Sukamdani yang menilai Velodiva memiliki sistem pembayaran adil dan transparan.

Pernyataan ini menunjukkan, pengusaha siap mendukung sistem yang menjamin tiap sen pembayaran royalti bisa terlacak dengan jelas sampai ke tangan pemilik hak cipta. Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, turut menyoroti pentingnya platform digital terintegrasi.

Menurutnya, keberadaan platform ini harus diimbangi tarif yang tidak membebani pengguna. “Platform seperti ini sangat diperlukan, tapi yang perlu diingat masalah tarif. Jadi tarif dibuat satu saja sudah termasuk tarif penggunaan platform,” ungkap Maulana Yusran.

Selain menyoroti masalah platform digital dan tarif, PHRI mendesak adanya revisi UU Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Haryadi Sukamdani berpendapat undang-undang yang ada saat ini memiliki banyak celah dan belum mengatur berbagai aspek secara jelas.

“Selain platform digital, saya rasa perlu segera ada revisi UU No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, karena masih banyak yang belum diatur dengan jelas dalam undang-undang itu," demikian Haryadi Sukamdani Haryadi menyorot urgensi pembaruan hukum yang relevan.

PHRI berharap polemik ini segera beres melalui kolaborasi pemerintah, regulator, dan pelaku usaha. Kejelasan regulasi, penetapan tarif yang adil, serta pemanfaatan platform digital transparan adalah kunci menciptakan sistem pembayaran royalti musik yang berkelanjutan.