MAJELIS Guru Besar Kedokteran Indonesia (MGBKI) menilai rencana pemerintah membuka 148 program studi (prodi) di 57 fakultas kedokteran di tahun ini berpotensi menimbulkan banyak masalah. Ketua MGBKI Budi Iman Santoso menyebut masalah yang paling utama adalah ketersediaan tenaga pendidik dokter.
Menurut Budi, rencana tersebut terlalu ambisius jika dibandingkan dengan ketersediaan sumber daya manusia pendidik saat ini. Ia mengatakan pemerintah semestinya menyiapkan terlebih dulu kebutuhan dasar tersebut alih-alih fokus pada jumlah produksi dokter yang ingin dicapai. “Seperti bangun rumah, itu kan harus punya pondasi. Standar input dipenuhi baru output,” ujar dia dalam acara deklarasi guru besar kedokteran se-Indonesia di Universitas Indonesia, Jakarta, Jumat, 22 Agustus 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Rencana membuka ratusan prodi baru itu disampaikan Prabowo dalam pidato kenegaraan dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Jumat, 15 Agustus 2025. Penambahan prodi itu bertujuan mengatasi kekurangan jumlah dokter dan dokter spesialis. Adapun prodi baru itu terdiri atas 25 prodi umum, 125 prodi spesialis dan 23 prodi subspesialis.
Berdasarkan pengalamannya, Budi menuturkan, proses membuka satu program studi membutuhkan persiapan yang sangat lama bahkan bertahun-tahun. Ia menilai ketergesaan dalam membuka prodi baru berpotensi menurunkan standar kompetensi dokter, hingga mengancam keselamaatan pasien. “Masalahnya kedokteran itu berhubungan dengan manusia, dan tidak boleh gagal,” kata dia.
Lagi pula, pemerintah dinilai tidak perlu terburu-buru ingin menambah jumlah dokter. Sebab, menurut Budi, jumlah dokter yang ada saat ini sudah mencukupi kebutuhan jika memang pendistribusiannya merata. Dokter spesialis obstetri and ginekologi (obgyn), misalnya, total ada 6.500 dokter. “Sebetulnya tidak kurang, problemnya ada distribusinya,” tutur dia.
Dalam kesempatan yang sama, dokter spesialis pulmonologi Menaldi Rasmin mengatakan, pembukaan prodi dan fakultas kedokteran secara besar-besaran justru bisa menjadi bumerang jika tidak dikaji dengan hati-hati. Ia mengingatkan jangan sampai produksi dokter yang massal justru menciptakan produksi penggangguran baru. ”Jangan-jangan, karena kebanyakan dan kualitas rendah, ribuan dokter ini terluntang-lantung tidak diterima di rumah sakir vertikal dan swasta,” kata dia.
Menaldi memberikan tiga catatan yang mesti dilakukan pemerintah sebelum merealisasikan program ambisius tersebut. Pertama, pemerintah harus memastikan jaminan kesejahteraan dan keamanan dokter saat praktik di daerah. Kedua, kenyamanan dokter saat praktik meliputi kebutuhan obat, alat, dan berbagai sarana dan prasarana lainnya. “Jangan sampai harus jahit, tapi benangnya tidak ada,” tutur dia memberikan perumpamaan.
Terakhir, pemerintah harus menjamin kesejahteraan dokter, sehingga jangan sampai dokter mencari uang melalui layanan pengobatan. “Enggak usah jadi miliader, enggak usah dikasih mobil, cukup pastikan dia mendapatkan penghasilan cukup untuk keluarga dan sekolah anaknya,” tutur Menaldi.