Liputan6.com, Jakarta Nama Mason Mount pernah melambung tinggi saat menjadi bagian dari generasi muda Chelsea di era Frank Lampard.
Bersama Reece James, Christian Pulisic, dan sejumlah talenta akademi lain, Mount membawa The Blues kembali ke Liga Champions di tengah situasi finansial sulit usai kepergian Roman Abramovich.
Kala itu, Mount tampil memikat: lincah di sepertiga akhir lapangan, berani melewati dua hingga tiga lawan, dan punya tembakan keras serta akurat dari luar kotak penalti.
Gayanya mengundang perbandingan dengan Frank Lampard, dan banyak yang memprediksi ia akan menjadi pilar timnas Inggris di masa depan.
Penurunan Performa dan Kepergian ke Rival
Sayangnya, kilau itu meredup cepat. Setelah musim terbaiknya, Mount tak lagi konsisten, membuat sejumlah pelatih Chelsea frustrasi.
Pada akhirnya, sang 'anak emas' akademi dilepas ke Manchester United, sebuah langkah yang mengejutkan mengingat rivalitas kedua klub.
Di Old Trafford, alih-alih membungkam kritik, Mount justru kesulitan mendapat tempat di tim utama. Rangkaian cedera mengganggu ritmenya, dan kepercayaan publik terhadap kemampuannya kian terkikis.
Kepercayaan dari Amorim, Tekanan dari Garnacho
Pelatih baru United, Ruben Amorim, tetap menunjukkan keyakinan pada Mount, bahkan memberinya tempat di laga-laga besar seperti final Liga Europa.
Keputusan itu mengorbankan Alejandro Garnacho yang kala itu dalam performa lebih baik, hingga memicu rumor transfer sang winger muda.
Bagi Mount, dukungan ini adalah kesempatan langka untuk membalikkan narasi. Di usia 26 tahun, ia harus bekerja lebih keras dari sebelumnya untuk membuktikan dirinya layak berada di level tertinggi.
Menghindari Label One Year Wonder
Istilah One Year Wonder telah menjadi momok bagi banyak pemain muda Inggris yang gagal mempertahankan performa awal mereka.
Mason Mount kini berada di titik kritis: Bangkit dan membangun kembali reputasinya, atau selamanya dikenang sebagai bintang yang hanya bersinar sekejap.