
KETIKA fajar menyingsing di Kota Daeng, sebuah perjalanan budaya yang sakral dimulai. Festival Bulan Budaya Makassar 2025 menghadirkan rangkaian kegiatan yang tidak hanya merayakan keberagaman budaya, tetapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai leluhur yang telah mengakar selama berabad-abad.
Hari dimulai dengan ritual Mappasili, sebuah tradisi sakral yang berakar dari kepercayaan masyarakat Bugis-Makassar. Berbalut busana adat yang anggun, rombongan Mappasili perlahan menuruni tangga rumah adat dengan khidmat.
Para wanita mengenakan baju bodo putih dan sarung sutra, masing-masing membawa lilin yang nyalanya bergetar lembut, simbol penerang sekaligus pengusir bala.
Seorang pemuda adat dengan hati-hati memeluk kendi tanah liat berisi air suci, air yang nantinya akan digunakan untuk memerciki warga dan lingkungan sebagai wujud penyucian diri.
Payung hias merah-kuning menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri, menjadi lambang penghormatan dan kemuliaan prosesi. Dipimpin oleh tetua adat berpakaian hitam berornamen emas, rombongan berjalan dengan langkah pasti, penuh khidmat.
Mappasili adalah kebiasaan masyarakat yang berasal dari leluhur nenek moyang yang turun temurun telah menjadi adat istiadat mengikat, bertujuan membersihkan diri dan lingkungan sekitar agar kembali suci.
Setelah ritual penyucian, acara dilanjutkan dengan Songka Balak, sebuah tradisi tolak bala yang dilakukan oleh masyarakat Bugis-Makassar untuk meminta perlindungan dan keselamatan dari Allah SWT, serta terhindar dari bencana, penyakit, atau musibah.
Prosesi ini bukan sekadar ritual, tetapi doa bersama agar kampung dan warganya senantiasa terhindar dari marabahaya, serta menjadi pengingat akan eratnya ikatan dengan tradisi dan warisan leluhur.
PANGGUNG BUDAYA
Ketika mentari mulai condong ke barat, jalanan Kota Makassar berubah menjadi panggung budaya raksasa. Karnaval budaya dimulai dengan kemeriahan yang luar biasa, menampilkan keberagaman yang menjadi kekuatan.
Peserta karnaval terdiri dari adik-adik dari drum band Kota Makassar, berbagai komunitas seni budaya, paguyuban-paguyuban dari berbagai daerah, dan 30 sanggar yang berpartisipasi dengan penuh semangat.
Yang membuat karnaval ini istimewa adalah tampilan perpaduan kombinasi adat dari berbagai penjuru Nusantara. Jalanan Makassar disemarakkan dengan keberagaman budaya yang luar biasa. Kostum tradisional Tionghoa dengan warna-warna cerah dan ornamen naga yang megah, tarian Bali dengan gerakan lemah gemulai dan perlengkapan upacara yang sakral, busana adat Jawa dengan keanggunan batik dan blangkon, serta kain tenun khas Madura dengan motif-motif yang khas.
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Makassar, Andi Pattiware, menjelaskan bahwa karnaval ini merupakan bentuk pelestarian dan perlindungan untuk pemajuan kebudayaan yang ada di Kota Makassar, sekaligus menjadi ajang penyatuan keberagaman budaya Nusantara.
Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, hadir mengenakan jas tutup adat Bugis Makassar, menekankan pesan penting: "Di festival ini, kita tidak menonjolkan ragam budaya sebagai perbedaan, tapi sebaliknya jadikan perbedaan sebagai perekat persatuan."
Ketika magrib tiba, suasana berubah menjadi lebih khidmat dengan dimulainya Barzanji - suatu doa-doa, pujian-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad SAW yang dilafalkan dengan irama atau nada yang indah. Lantunan syair-syair pujian ini mengalir dengan merdu, menciptakan atmosfer spiritual yang menyentuh hati setiap yang hadir. Barzanji menjadi jembatan antara tradisi budaya lokal dengan nilai-nilai keislaman yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Makassar.
Sunardianto, dari Forum Komunikasi Pagutuban Masyarakat Jawa mengaku senang dilibatkan dalam kegiatan budaya yang digelar di Kota Makassar ini. "Kita bisa melihat semua budaya Nusantara menjadi satu sesuai dengan semboyan negara kita Bhineka Tunggal Ika," katanya.
LAUNCHING MUSEUM
Puncak dari rangkaian acara adalah launching Museum Kota Makassar at Night, sebuah inovasi yang membuka museum pada malam hari, memberikan pengalaman berbeda dalam menjelajahi sejarah.
Museum Kota Makassar, yang berada di jantung kota dan mudah dijangkau, menawarkan wisata edukasi yang mengulik sejarah terbentuknya Kota Daeng. Museum ini menyajikan sejarah dari zaman penjajahan Belanda dan Jepang hingga masa Kemerdekaan, lengkap dengan koleksi bersejarah seperti Bola Meriam yang menjadi saksi pertempuran Kerajaan Gowa dan Belanda.
"Kami mau museum ini bukan hanya sekedar memamerkan, tapi menjadi suatu tempat sarana inklusif untuk teman-teman komunitas seni budaya dan masyarakat," ungkap Andi Pattiware.
Program night at museum ini memiliki target khusus untuk meningkatkan jumlah pengunjung sekaligus mengubah persepsi bahwa museum bukan hanya tempat koleksi fisik, tetapi ruang hidup yang dapat difasilitasi untuk berbagai kegiatan positif.
Festival Bulan Budaya 2025 ini bukan sekadar perayaan sesaat. Wali Kota Munafri Arifuddin menekankan bahwa budaya di Kota Makassar tidak boleh hanya sebatas seni pertunjukan, melainkan juga harus menjadi karakter dalam kehidupan masyarakat.
Ia mendorong integrasi nilai-nilai lokal ke dalam kurikulum pendidikan dasar, memperkenalkan aksara Lontara, corak kain sutra Bugis-Makassar, hingga mendorong setiap kantor pemerintahan dan sekolah menampilkan identitas budaya lokal.
WARISAN HIDUP
Dari fajar hingga tengah malam, Festival Bulan Budaya Makassar 2025 telah membuktikan bahwa tradisi bukanlah masa lalu yang terlupakan, melainkan warisan hidup yang terus bernapas dalam kehidupan modern. Melalui ritual penyucian, doa perlindungan, parade keberagaman, syair pujian, hingga eksplorasi sejarah di kegelapan malam, festival ini menjadi jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Seperti yang diharapkan Wali Kota Munafri, festival ini menjadi momentum memperkuat kecintaan masyarakat terhadap warisan budaya Makassar, sekaligus menghidupkan sektor ekonomi kreatif melalui pariwisata budaya. Di tengah kemajuan informasi dan teknologi, nilai-nilai leluhur tetap relevan sebagai kompas moral dan identitas bangsa. (E-2)