Joko Susanto
Agama | 2024-11-30 10:07:13
Waktu terus berjalan menorehkan berbagai kenangan. Masa demi masa tetap melaju tanpa kompromi dengan kata menunggu. Maka, tepatlah kiranya petuah bijak dari Hasan Al Bashri yang berkata : “Dunia itu hanya tiga hari. Kemarin, yang tidak akan terulang. Besok, yang belum tentu kita menemuinya. Hari ini, tempat menabung amalan kita."
Pada zaman ini, manusia seakan super sibuk dengan berbagai urusan masing-masing. Boleh jadi hal itu menjadi tuntutan yang mungkin belum dapat dihindari. Tanpa menafikan aktifitas yang seakan tiada berujung, wajar kiranya kita introspeksi sejenak terhadap suatu hal bernama skala prioritas. Mengapa? Amal ibadah macamnya sangat banyak dan sepertinya kecil kemungkinan kita dapat melakukannya semua. Selain itu, waktu, tenaga, pikiran, dan kesempatan untuk mewujudkannya pun sangat terbatas. Logis kiranya apabila kita cerdas dan menyadari akan perlunya skala prioritas agar kesibukan kita tidaklah sia-sia belaka. Jangan sampai terjadi, kelihatannya pontang-panting namun serampangan sehingga kelak nihil tanpa hasil.
Pada khotbah Jumat di masjid Al-Makmur Petojo Utara Gambir Jakarta, ustadz M Abdul Wahab Lc MHI tanggal 22 Nopember 2024 lalu memberikan panduan skala prioritas dalam beramal.
1. Ilmu lebih utama daripada amal.
Muadz bin Jabal Ra berkata : Ilmu itu imam sedangkan amal itu makmum atau pengikut. Imam itu yang di depan atau didahulukan.
Ada seorang Arab Badui sholat di dekat Nabi dan kemudian disuruh mengulangi sholat oleh Nabi sampai tiga kali, belum benar. Sehingga minta diajari Nabi tentang sholat yang benar.
Jadi, sholat adalah ibadah yang paling utama, tetapi jika dilakukan tanpa ilmu maka tidak akan bernilai dan diterima oleh Allah SWT.
2. Amal yang wajib lebih didahulukan daripada sunah. Contohnya ketika sholat tahajud perlu memikirkan subuh. Jangan sampai subuhnya kesiangan. Berikutnya, infaq ke keluarga wajib, bukan ke tetangga dulu atau orang yang jauh. Amal yang wajib tentu harus diutamakan daripada amal yang sunnah.
Seorang muslim yang baik tidak akan bersedekah jor-joran kepada orang lain tetapi kepada istri dan anak-anaknya tidak memberi nafkah yang layak. Sedekah itu sunnah sedangkan nafkah untuk keluarga hukumnya wajib.
3. Amal yang manfaatnya besar lebih diutamakan daripada yang hanya bermanfaat untuk diri sendiri.
Ibadah-ibadah ritual yang sunnah seperti shalat-shalat sunnah, puasa-puasa sunnah, itu semua bagus dan sangat dianjurkan, tetapi jangan hanya fokus dan habis perhatian pada ibadah-ibadah yang sifatnya ritual yang manfaatnya hanya didapatkan oleh pelakunya saja. Sebab justru ibadah-ibadah sosial-lah yang lebih utama karena manfaatnya dapat dirasakan oleh orang lain. Bahkan dalam banyak hadits, keimanan seseorang selalu dikaitkan dengan perilaku sosialnya.
“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” berkata seseorang, “Siapa yang kau maksud ya Rasulallah?” Rasulullah SAW berkata, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (H.R. Bukhari )
Oleh karenanya, jangan sampai kita salah prioritas dalam beramal, puasanya rajin tahajjudnya rajin, itu bagus. Tetapi lebih bagus lagi bila di masyarakat kita tidak menjadi masalah namun ikut mencari solusi dan berakhlak mulia. Dzikirnya banyak tetapi tidak peduli pada lingkungan, buang sampah sembarangan, parkir kendaraan tidak tertib dan sebagainya, menjadi introspeksi diri kita.
4. Sedikit tetapi rutin lebih diutamakan daripada banyak tetapi sesekali. Contohnya, membaca al-Qur'an sebanyak satu lembar tiap hari lebih baik daripada satu Juz tetapi langsung libur selama setahun.
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling konsisten meskipun sedikit” (HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783).
Jika kita ingin mulai membiasakan kebaikan dan melakukan amal shalih maka mulailah dengan yang paling mudah dan ringan tetapi kita usahakan untuk mengerjakannya secara konsisten dan istiqomah. Dua atau empat rakaat shalat sunnah yang dilakukan secara kontinyu lebih baik daripada puluhan rakaat yang dilakukan hanya sesekali.
Kita harus pandai menjaga ritme kita dalam beribadah jangan menghabiskan semangat kita, memporsir tenaga di awal tetapi setelah itu kita kehilangan tenaga dan tidak mampu lagi melakukannya. Lebih baik kita lakukan sedikit-sedikit agar semangat kita dan tenaga kita selalu ada untuk beramal. Dan amal seperti itulah yang ternyata paling disukai oleh Allah SWT.
5. Kualitas diutamakan dari kuantitas.
"Sesungguhnya Allah SWT mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional” (HR. Thabrani no. 891 dan Baihaqi no. 334).
Hal yang harus kita kejar dalam beramal bukan sekedar kuantitasnya tetapi juga kualitasnya bahkan kualitas yang harus kita utamakan dari sekedar jumlah. Sedekah yang sedikit tetapi ikhlas dan jauh dari riya tentu lebih baik daripada sedekah dalam jumlah yang banyak tetapi bukan karena Allah. Sebab sebanyak apapun amal kita jika bukan karena Allah maka sia-sia belaka, bukan pahala yang kita dapat tetapi siksa.
Membaca Al-Qur'an sedikit tetapi sambil memahami dan mentadabburi maknanya lebih baik daripada membaca banyak tetapi tidak berusaha memahami apalagi mengamalkannya.
6. Amal yang manfaatnya bertahan lama lebih diutamakan daripada yang tidak bertahan lama.
"Apabila anak adam (manusia) telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya darinya, kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang selalu mendoakannya." (HR Muslim)
Demikianlah sebagian panduan singkat terkait skala prioritas dalam beramal. Mudah-mudahan kita mampu mengoptimalkan kesehatan dan kesempatan untuk beramal sesuai tuntunan-Nya. Bukan justru menjungkirbalikkan prioritas amal.
Terima kasih kepada Mas Khatib yang telah berbagi inspirasi berupa materi yang bernas ini. Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan. Barokallah. (Sidoarjo, 30 Nopember 2024)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.