Herlina Fauziah Hidayanti
Politik | 2025-07-10 18:20:33

Apa gunanya aturan jika tak mampu mencegah perusakan lingkungan? Di Raja Ampat, kita bisa melihat betapa lemahnya koordinasi antar lembaga, tidak sinkronnya kebijakan pusat dan daerah, dan minimnya pelibatan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Kawasan yang seharusnya dijaga justru terancam oleh ekspansi pariwisata yang tidak terkendali, penebangan mangrove, hingga praktik perikanan yang merusak.Laporan Yulianda dan kawan-kawan (2020) memperlihatkan bagaimana kawasan mangrove di Selat Dampier, bagian dari wilayah Raja Ampat, mengalami tekanan akibat aktivitas manusia yang berlebihan.
Jumlah wisatawan tak sebanding dengan daya dukung lingkungan. Tapi pertanyaannya: siapa yang mestinya mengatur dan mengawasi ini semua? Jawabannya jelas negara, melalui perangkat administrasi publik yang seharusnya sigap dan berpihak pada keberlanjutan.Di tengah berbagai tantangan, kita justru menemukan harapan dari tradisi lokal. Sistem "sasi" yakni kearifan lokal dalam mengelola sumber daya laut dengan cara melarang pengambilan biota laut pada waktu dan lokasi tertentu telah terbukti membantu menjaga kelestarian ekosistem.
Studi McLeod, Szuster, dan Salm (2009) menunjukkan bahwa sasi mampu memberikan ruang bagi alam untuk pulih, asalkan didukung oleh struktur sosial dan tata kelola yang kuat.Namun apa daya, sistem seperti sasi nyaris berjalan sendiri, tanpa sokongan nyata dari negara. Regulasi nasional seperti PP 26/2025 tampak belum cukup akomodatif terhadap praktik-praktik lokal seperti ini. Padahal, bukankah sudah seharusnya kebijakan lingkungan kita dibangun di atas pijakan budaya dan pengalaman masyarakat setempat?Dalam artikel Paulus Bolia dan kolega (2014), ditunjukkan bahwa keberhasilan konservasi di Raja Ampat banyak bergantung pada kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat adat.
Mereka yang tinggal di wilayah ini bukan hanya penonton, melainkan aktor utama yang paham betul bagaimana menjaga laut. Tapi kenyataannya, pelibatan mereka sering bersifat simbolis. Ketika pelanggaran terjadi, masyarakat adat justru tidak memiliki wewenang yang cukup untuk menindak.Masalah kita bukan cuma pada kebijakan, tapi juga pada cara kita menjalankan administrasi. Evaluasi dan inventarisasi lingkungan hidup, yang seharusnya dilakukan secara berkala sesuai amanat PP 26/2025, sering kali mandek. Data yang digunakan dalam perencanaan pun kerap tidak mutakhir.
Ironisnya, desentralisasi justru menciptakan birokrasi baru yang belum siap secara sumber daya manusia maupun teknologi.Ketika profit pariwisata lebih diprioritaskan ketimbang keberlanjutan, maka kerusakan adalah keniscayaan. Kita bisa belajar dari pengalaman di kawasan mangrove Raja Ampat: terlalu banyak wisatawan, terlalu sedikit kontrol. Ini bukan semata masalah teknis, tapi masalah politik kebijakan tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan.
Jadi, apa yang bisa dilakukan? Pertama, pemerintah perlu mengakui peran strategis kearifan lokal dan mengintegrasikannya dalam kebijakan formal. Jangan lagi menganggap sasi sebagai praktik pinggiran. Kedua, perkuat kapasitas administrasi daerah, bukan hanya dalam bentuk dana, tapi juga pelatihan dan sistem pengawasan yang modern. Ketiga, libatkan masyarakat secara utuh bukan hanya sebagai pelengkap proyek, tapi sebagai mitra sejati.Kolaborasi adalah kata kunci.
Inisiatif-inisiatif lokal seperti yang terjadi di Misool dan Selat Dampier bisa menjadi model nasional. Tapi untuk itu, kita perlu kemauan politik, bukan hanya niat baik. Pemerintah harus berani menolak investasi yang merusak, menegakkan hukum lingkungan tanpa pandang bulu, dan memperlakukan alam sebagai mitra, bukan objek eksploitasi.Lebih dari sekadar kawasan wisata, Raja Ampat adalah cermin. Ia memperlihatkan apakah negara ini benar-benar serius menjaga masa depan lingkungannya, atau hanya pandai membuat regulasi tanpa implementasi.
Karena pada akhirnya, jika administrasi lingkungan kita gagal, maka yang akan hilang bukan hanya terumbu karang atau spesies laut langka, tapi juga masa depan anak cucu kita. Maka pertanyaannya: akankah kita biarkan Raja Ampat menjadi kenangan, atau kita selamatkan selagi masih bisa?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.