
Arafah menjadi titik berkumpulnya jemaah haji untuk melakukan wukuf. Berdiam diri di Arafah menjadi bagian yang tidak bisa ditinggalkan dalam puncak haji.
Umat islam berlomba-lomba untuk bisa wukuf di Arafah. Namun, tidak semuanya bisa menginjakkan kaki di tempat tersebut, khususnya saat musim haji.
“Arafah adalah perjumpaan langsung antara Allah dan hambaNya. Allah sajikan perjamuan yang hanya disajikan bagi hamba-hambaNya yang mendapat undangan,” ujar Pranata Humas Ahli Muda Kemenag, Dodo Murtado, di Makkah, Kamis (5/6).
Seluruh jemaah pada musim haji 2025 wukuf di Arafah pada Kamis, 9 Zulhijjah 1446 H atau 5 Juni 2025. Dodo mengatakan saat pergi ke Arafah, jemaah haji laki-laki hanya dibungkus dengan dua helai kain putih.

“Dua helai kain yang sama akan ia kenakan saat menjumpai pemilikNya kelak. Berangkat ke Arafah untuk wukuf seperti perjalanan menuju kematian,” kata Dodo.
Dodo menilai wukuf yang bermakna berdiam, berhenti, membuat jemaah haji seperti kembali ke titik nol. Titik di mana manusia berkesempatan melakukan penjernihan diri di waktu yang telah ditentukan. Waktu wukuf sangat terbatas, dimulai saat matahari tergelincir hingga jelang terbenam.
“Waktu singkat tersebut apakah cukup untuk melangitkan harapan untuk masa kehidupan yang mungkin masih panjang. Tuhan membuka tirai langit paling tipisnya di antara lapisan langit, agar doa, zikir, ampunan dan harapan langsung menembus lapisan langit itu,” ungkap Dodo.
Dodo mengungkapkan Arafah adalah simbol keutuhan dan inklusivitas. Setiap orang harus berada di sana pada waktu dan tempat yang sama, berpenampilan sama, melakukan hal yang sama, dan berusaha mencapai tujuan yang sama.

Menurutnya, Arafah adalah salinan miniatur manusia dan takdirnya. Yang dibutuhkan jemaah selama di Arafah adalah ketulusan, kesetiaan, dan pengabdian; yang berarti berada di sana secara fisik, spiritual, dan emosional.
“Hadirkan segala kekurangan diri, wukuf menjadi momentum melakukan dekontruksi atas sifat dan karakter yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kehanifan agama, yakni nilai yang selalu berorientasi pada kebaikan,” tutur Dodo.
“Setelah melakukan pengakuan, lalu saatnya melakukan rekonstruksi dengan pengenalan diri yang lebih baik, melalui penjernihan hati, akal dan nafsu,” tambahnya.
Karenanya, periode Arafah sangat dianjurkan untuk diisi dengan berzikir kepada Allah, berdoa, membaca talbiyah, membaca Al Quran. Jemaah haji dapat melakukan aktivitas tersebut dalam posisi apa pun.
“Mereka dapat dalam keadaan terjaga, tidur, duduk, berdiri, berbaring, berjalan, dan sebagainya. Dianjurkan untuk menghadap kiblat (arah Ka'bah sebagai poros spiritual umat Islam) dan sebisa mungkin berada dalam keadaan suci,” ujar Dodo.
Dodo mengharapkan proses rekonstruksi selama berhenti dan berdiam diri di Arafah dapat membuat jemaah haji menjadi pribadi yang lebih saleh, lebih baik kepada sesama, lingkungan, dan makhluk Tuhan lainnya.
Dodo menuturkan selama haji wada’ dan di Arafah, Nabi Muhammad SAW menyampaikan khotbah yang paling kuat dan penting dalam sejarah manusia. Khotbah tersebut berisi cetak biru untuk hubungan pribadi, keluarga, dan sosial serta perkembangannya.
“Khotbah tersebut tidak hanya mencakup kerangka konseptual, tetapi juga praktis untuk pembangunan masyarakat, budaya, dan peradaban. Khotbah Rasulullah SAW merupakan dokumen yang disajikan kepada dunia sebagai peta jalan untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan sejati,” tutur Dodo.