KEBIJAKAN Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tentang penambahan rombongan belajar (rombel) menjadi sebanyak 50 murid digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Dikutip dari situs web PTUN Bandung, gugatan yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat itu tercatat dalam nomor perkara 121/G/2025/PTUN.BDG dan didaftarkan di PTUN Bandung pada 1 Agustus 2025.
Gugatan dilayangkan oleh Forum Kepala Sekolah SMA Swasta Jawa Barat bersama Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kabupaten Garut, Kota Cirebon, Kabupaten Kuningan, dan Kota Cimahi. Perkara tersebut saat ini dalam tahap pemeriksaan persiapan.
Sebelumnya, pada 26 Juni 2025, Dedi menerbitkan Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah Jenjang Pendidikan Menengah di Provinsi Jawa Barat. Keputusan itu memuat tujuan pencegahan anak putus sekolah, antara lain meningkatkan akses layanan pendidikan bagi murid yang terhambat dalam penerimaan murid baru secara reguler.
Tujuan lain, memberikan pemenuhan hak warga Jawa Barat mendapat layanan pendidikan bermutu serta meningkatkan angka partisipasi sekolah di sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Purwanto, hanya 17 SMA/SMK yang menerapkan penambahan peserta didik dengan rombongan belajar maksimal 50 peserta didik. Rinciannya, 16 SMA negeri dan 1 SMK negeri. Di Jawa Barat terdapat 515 SMA negeri dan 286 SMK negeri.
Purwanto mengakui kebijakan penambahan rombongan belajar itu diprotes sejumlah pihak, di antaranya Pengurus Badan Musyawarah Perguruan Swasta Wilayah Jawa Barat.
“Pada pokoknya, keberatan tersebut berisi tentang kekhawatiran sekolah swasta terancam tutup akibat tidak mendapat siswa baru dan kebijakan tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Purwanto, seperti dikutip dari siaran pers Hubungan Masyarakat Jawa Barat, Kamis, 7 Agustus 2025.
Lantas, apakah rombongan belajar maksimal sampai 50 siswa yang diputuskan Dedi Mulyadi menyalahi aturan?
Aturan Mengenai Rombongan Belajar Maksimal 50 Siswa
Ketentuan mengenai rombongan belajar diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 47 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, dengan penjelasan teknis dalam Keputusan Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Nomor 071/H/M/2024 mengenai petunjuk teknis tata cara pembentukan rombongan belajar.
Pasal 8 ayat 2 huruf f Permendibudristek No. 47 Tahun 2023 menyebutkan jumlah peserta didik per rombongan belajar ditetapkan dengan ketentuan paling banyak 36 siswa untuk SMA/sederajat.
Namun jumlah siswa per rombongan belajar di SMA/SMK dapat diberlakukan secara fleksibel melalui pengecualian dalam kondisi tertentu seperti diatur dalam ayat 4 yang menyatakan, “Dalam hal terdapat keterbatasan jumlah Satuan Pendidikan yang dapat diakses oleh Peserta Didik dalam suatu wilayah dan/atau terdapat keterbatasan jumlah pendidik pada Satuan Pendidikan, jumlah Peserta Didik per rombongan belajar dapat dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).”
Adapun Keputusan BSKAP Nomor 071/H/M/2024 Bab II bagian B tentang kondisi pengecualian menyebutkan, “Jumlah peserta didik per rombel dapat dikecualikan apabila terdapat keterbatasan jumlah satuan pendidikan yang dapat diakses oleh peserta didik dalam suatu wilayah dan/atau keterbatasan jumlah pendidik pada satuan pendidikan.”
Dalam keputusan itu disebutkan bahwa jumlah maksimum peserta didik per rombongan belajar dengan kondisi pengecualian untuk jenjang SMA/SMK dapat ditambah dari semula 36 menjadi 50 siswa.
Alasan Forum Kepala SMA Swasta Tolak Rombongan Belajar 50 Siswa
Para penggugat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 menyebutkan kebijakan tersebut berdampak serius pada sekolah swasta, termasuk para gurunya.
Kuasa hukum para penggugat dari Kongres Advokat Indonesia, Alex Edward, mengatakan kebijakan Dedi Mulyadi itu berdampak serius pada kegiatan operasional sekolah swasta, terutama dalam hal distribusi guru bersertifikasi dan efektivitas sarana-prasarana pendidikan.
“Guru yang telah bersertifikasi justru mendapat pengurangan jam mengajar karena kebijakan ini. Selain itu, penambahan rombel di sekolah negeri menyebabkan minimnya rekrutmen guru baru di sekolah swasta, yang secara otomatis menurunkan pemanfaatan sarana dan prasarana kami,” kata Alex di PTUN Bandung pada Kamis, 7 Agustus 2025, seperti dikutip dari Antara.
Alex mengatakan penggugat yang terdiri atas delapan organisasi sekolah swasta berharap PTUN dapat membatalkan keputusan tersebut dan meminta Gubernur Jabar mencabut kebijakan yang dinilai kontraproduktif terhadap keberlangsungan pendidikan swasta itu. “Kalau ini diterapkan terus hingga tiga tahun ke depan, dampaknya bisa sangat merugikan sekolah-sekolah swasta,” ujarnya.
Kata Dedi Mulyadi Soal Kebijakan Rombel 50 Siswa Digugat ke PTUN
Dedi menanggapi gugatan terhadap kebijakan rombel 50 siswa tersebut. Dia mengatakan keputusannya itu ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
“Bagi saya, enggak ada masalah hari ini saya digugat sebagai gubernur. Tapi saya sudah menyelamatkan 47 ribu anak-anak Jawa Barat, bisa bersekolah dan sekolahnya tanpa biaya. Itu bagi saya jauh lebih berbahagia,” kata Dedi di Pusdai Bandung, Kamis, 7 Agustus 2025.
Dedi mengatakan, saat ini 47 ribu anak sudah masuk Data Pokok Pendidikan atau Dapodik Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. “Mereka sudah menjadi siswa. Di situ tugas saya sebagai gubernur sudah saya tunaikan, yaitu memberikan ruang yang terbuka bagi anak-anak Jawa Barat untuk sekolah free di fasilitas yang kami siapkan,” ucapnya.
Mantan Bupati Purwakarta, Jawa Barat, ini merasa ragu kebijakannya itu dituduh menyebabkan jumlah siswa di beberapa sekolah swasta menurun. “Kalau dinilai bahwa kebijakan itu membuat sekolah swasta mengalami penurunan jumlah murid, kan dalam tren setiap tahun berdasarkan statistik juga menurun,” tuturnya.
Menurut Dedi, dalam tahun ini saja, jumlah sekolah swasta bertambah. “Bertambah tahun ini 67 (sekolah). Kalau satu sekolah membuka lima kelas, itu sudah berapa pengurangannya. Kemudian yang berikutnya, sekolah swasta yang relatif, bahasa kasarnya bonafide, elite, kan muridnya masih relatif cukup,” ujarnya.
Dedi pun mengatakan persoalan yang terjadi saat penerimaan siswa baru disebabkan oleh kurangnya jumlah sekolah. Menurut dia, pemerintah juga lambat membangun sekolah sesuai dengan kebutuhan daerah.
“Dan yang paling menyedihkan adalah jumlah sekolah negeri yang kurang itu, yang tidak sesuai dengan jumlah penduduk dan jumlah angkatan sekolahnya, justru terjadi di Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi,” kata Dedi.
Karena itu, Dedi mengaku heran kebijakannya soal rombongan belajar disorot banyak pihak. “Pertanyaan saja, kenapa ketika pemerintah provinsi tidak menganggarkan anggaran untuk bangun sekolah kok tidak dikritik? Kenapa ketika pemerintah provinsi tidak ada anggaran untuk merehabilitasi ruang kelas satu rupiah pun kok tidak dikritik?” ujarnya.
Dedi pun menyatakan siap menghadiri sidang gugatan tersebut jika pengadilan memintanya. “Kalau saya siap saja, enggak ada masalah. Ini kan sidang PTUN, bukan sidang gugatan pidana. PTUN keputusannya adalah administrasi negara,” ucapnya.
Ahmad Fikri dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Ragam Tanggapan atas Pengembalian Jabatan Wakil Panglima TNI