Kairo (ANTARA) - Komite tingkat menteri yang diamanatkan oleh Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Arab dan Islam terkait Gaza, bersama dengan 23 negara, Liga Arab, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), pada Sabtu (9/8) bersama-sama menyatakan "kecaman keras dan penolakan tegas" terhadap rencana Israel memberlakukan kendali militer penuh atas Gaza.
Pernyataan bersama yang dirilis oleh kementerian luar negeri (kemenlu) negara-negara tersebut, antara lain Mesir, Palestina, Qatar, Yordania, Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Yaman, Sudan, Libya, Mauritania, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, Chad, Djibouti, Somalia, Turkiye, dan Gambia, menyebut rencana Israel itu sebagai "eskalasi berbahaya dan tidak dapat diterima, pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional, dan upaya untuk memperkuat pendudukan ilegal serta memaksakan fakta di lapangan menggunakan kekuatan, bertentangan dengan legitimasi internasional."
Pernyataan tersebut memperingatkan bahwa tindakan yang diumumkan oleh Israel adalah "kelanjutan dari pelanggaran serius yang dilakukannya, termasuk pembunuhan dan kelaparan, upaya relokasi paksa dan aneksasi wilayah Palestina, serta tindakan terorisme oleh pemukim, yang merupakan kejahatan yang dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan."

Pernyataan itu menambahkan bahwa langkah-langkah tersebut "menghapus semua peluang untuk mencapai perdamaian, merusak upaya regional dan internasional untuk deeskalasi dan penyelesaian konflik secara damai, serta memperburuk pelanggaran serius terhadap rakyat Palestina." Menurut pernyataan tersebut, untuk pertama kalinya Yunani dan Italia ikut berpartisipasi dalam operasi udara tersebut, bekerja sama dengan Uni Emirat Arab, Yordania, Jerman, dan Belanda.
Negara-negara dan blok tersebut menuntut "penghentian segera dan menyeluruh agresi Israel" di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur, serta "akses masuk tanpa syarat" bagi bantuan kemanusiaan ke Gaza dan kebebasan beroperasi bagi lembaga-lembaga bantuan.
Pernyataan itu juga menyuarakan dukungan terhadap upaya mediasi yang dilakukan oleh Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat (AS), "untuk mencapai gencatan senjata dan meraih kesepakatan terkait pertukaran tawanan dan sandera."
Sementara itu, dalam pertemuan di Kairo, Presiden Mesir Abdel-Fattah al-Sisi dan Menteri Luar Negeri Turkiye Hakan Fidan juga "menegaskan penolakan mereka atas pemberlakuan kembali pendudukan militer di Jalur Gaza" dan menyerukan gencatan senjata segera di daerah kantong tersebut, menurut pernyataan Kepresidenan Mesir.
Kedua belah pihak "menegaskan kembali urgensi gencatan senjata segera, masuknya bantuan kemanusiaan, serta pembebasan para sandera dan tawanan," seraya menekankan kembali penolakan mereka terhadap relokasi paksa warga Palestina, kata pernyataan itu.
Pada Sabtu yang sama, Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) menyebutkan dalam sebuah pernyataan bahwa 106 paket bantuan telah dikirim melalui udara di seluruh Jalur Gaza oleh enam negara.

Menurut pernyataan tersebut, untuk pertama kalinya Yunani dan Italia ikut berpartisipasi dalam operasi udara tersebut, bekerja sama dengan Uni Emirat Arab, Yordania, Jerman, dan Belanda. Israel melancarkan operasi militer berskala besar di Gaza pada 7 Oktober 2023, menyusul serangan Hamas ke Israel selatan yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan mengakibatkan penahanan sandera, menurut otoritas Israel.
Sejak dimulainya kembali operasi bantuan udara internasional pada akhir Juli, sebanyak 11 negara telah berpartisipasi dan menyalurkan lebih dari 1.100 paket bantuan ke Jalur Gaza sejauh ini.
IDF mengatakan pihaknya terus melakukan serangkaian tindakan untuk meningkatkan respons kemanusiaan di Gaza dan akan bekerja sama dengan komunitas internasional guna memperkuat upaya bantuan, sambil membantah tuduhan bahwa Israel secara sengaja menyebabkan kelaparan di Gaza.
Kendati demikian, sejumlah pejabat dan pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa operasi pengiriman bantuan melalui udara memiliki dampak yang kecil dalam mengatasi krisis kemanusiaan di Gaza, kecuali Israel membuka perlintasan darat untuk memungkinkan masuknya lebih banyak bantuan dan mengizinkan perawatan medis bagi mereka yang mengalami malanutrisi.

Israel melancarkan operasi militer berskala besar di Gaza pada 7 Oktober 2023, menyusul serangan Hamas ke Israel selatan yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan mengakibatkan penahanan sandera, menurut otoritas Israel
Otoritas kesehatan di Gaza pada Sabtu tersebut mengatakan sedikitnya 61.369 warga Palestina tewas dan 152.850 orang lainnya terluka sejak Oktober 2023.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.