SERSAN mayor Christian Namo tak bisa menahan kemarahan setelah putra keduanya Prajurit Dua TNI Lucky Chepril Saputra Namo atau Prada Lucky tewas akibat diduga dianiaya sejumlah seniornya pada 6 Agustus 2025 lalu. "Hukuman cuma dua buat pelaku, hukuman mati dan dipecat," kata dia seperti diunggah dalam video yang viral di media sosial.
Prada Lucky tewas dengan luka lebam, sayatan dan bekas sundutan rokok di sekujur tubuhnya. Christian Namo meminta tanggung jawab dari para pelaku yang telah menganiaya anaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sub Detasemen Polisi Militer Kupang telah menangkap sejumlah terduga pelaku. Kasusnya sedang diselidiki oleh polisi militer. Setidaknya sudah ada lebih dari 20 orang yang diperiksa. Namun belum ada keterangan lebih lanjut dari TNI ihwal motif para pelaku yang diduga menganiaya tentara baru tersebut.
Kasus ini menambah daftar peristiwa serupa. Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan berulangnya kekerasan terhadap junior di internal TNI ini kompleks.
Menurut dia, adanya kejadian ini tidak bisa semata-mata diarahkan hanya ke pelaku, melainkan perlu melihat lebih luas dari struktur dan dinamikanya. Dia berujar di berbagai kasus kekerasan kolektif, terdapat tiga elemen penting yang selalu muncul.
"Yaitu situasi pemicu, identifikasi sosial, dan peran kolektif yang dirasakan oleh pelaku," kata dia saat dihubungi, Sabtu, 9 Agustus 2025.
Ketika elemen-elemen itu bersatu, maka terjadi proses depersonalisasi. Proses ini menyebabkan individu berhenti melihat orang lain sebagai manusia dengan hak yang utuh.
Fahmi mengatakan, hal itu kemudian membuat emosi meningkat dan sensitivitas menurun. "Akhirnya korban mengalami dehumanisasi. Inilah yang membuat kekerasan menjadi seolah tampak wajar, bahkan seperti bentuk pembenaran moral," ujar pengamat militer ini.
Mekanisme psikologis semacam ini tak hanya terjadi di kalangan aparat. Menurut dia, peristiwa main hakim sendiri yang dilakukan rakyat terhadap pencuri juga berasal dari faktor yang sama.
Fahmi juga menyinggung kultur yang ada di dalam internal instansi pertahanan negara itu. Meski proses rekruitmen prajurit mensyaratkan uji psikologi, tidak menjamin hasilnya akan sama setelah prajurit itu bertugas.
Dia menilai kondisi moral dan mental tiap prajurit berpotensi berbeda selepas menyelesaikan pendidikan. Sebab, kata dia, hal ini bisa dipengaruhi oleh lingkungan kedinasan tiap-tiap prajurit TNI.
"Bagaimana mereka diasuh oleh senior, sejauh mana pengawasan dan teladan diberikan pimpinan, dan bagaimana sistem menanggapi pelanggaran," ujar Fahmi menyebutkan faktor-faktor yang membuat mental prajurit bisa berubah.
Nilai psikologis yang tinggi saat proses rekruitmen dinilai tidak bisa selalu menjamin. Dia mengatakan, bila prajurit masuk ke dalam kultur satuan yang permisif terhadap kekerasan, bukan tidak mungkin mentalnya akan cepat luncur.
"Apalagi perlu diakui bahwa TNI memang dibentuk sebagai alat kekerasan negara. Prajurit dididik untuk siap bertempur," ucapnya.
Ajaran mentalitas itu dinilai menciptakan tuntutan terhadap prajurit agar menjadi superior bahkan tergolong arogan. Dia menilai hal ini menjadi berbahaya ketika prajurit TNI tidak dapat mengendalikan emosinya.
"Mentalitas bisa meluber ke arah yang salah, terutama ketika kekerasan diarahkan kepada sesama prajurit, atau lebih parah lagi ke warga sipil," ucap Fahmi.
Menurut dia, fenomena ini bisa diselesaikan dengan cara meminimalisir kekerasan yang sifatnya impulsif dan eksesif. Pencegahan itu bisa dilakukan dengan memperkuat nilai-nilai moral prajurit, mempertegas integritas, serta menumbuhkan rasa malu terhadap penyimpangan.
"Sistem hukum juga harus ditegakkan tanpa pandang bulu, agar setiap pelanggaran tidak dianggap remeh," kata Fahmi.
Selain itu, peran pimpinan di level terbawah menjadi krusial. Mulai dari komandan peleton hingga batalion harus bisa menjadi teladan untuk para prajurit TNI. Bukan hanya teladan di urusan teknis ataupun taktis, melainkan juga teladan moral.
"Pimpinan harus berani bersikap, membimbing, mengawasi, dan menindak. Bukan malah membiarkan arogansi tumbuh subur, apalagi membungkus kekerasan dengan dalih pembinaan," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Dave Akbarshah Fikarno Laksono berpendapat, penganiayaan yang dialami Prada Lucky dari para seniornya berpotensi menciderai nilai-nilai dasar militer.
Seharusnya, ujar dia, instansi pertahanan negara itu menjunjung tinggi nilai disiplin, kehormatan, dan pelindungan terhadap anggotanya. Dia menegaskan tidak boleh ada ruang bagi praktik kekerasan di lingkungan militer. Apalagi terhadap prajurit muda yang baru saja mengabdi untuk negara.
Dia memastikan kasus tewasnya Prada Lucky ini tidak akan dibiarkan berlalu tanpa pertangungjawaban yang jelas. "Kami mendesak agar proses investigasi dilakukan secara transparan, obyektif, dan menyeluruh," kata dia dalam keterangannya pada Sabtu, 9 Agustus 2025.
Politikus Partai Golkar ini juga meminta kepada pimpinan tertinggi TNI untuk memberikan perhatian khusus terhadap pembinaan mental dan budaya satuan. Menurut dia, hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi lagi pola relasi senior-junior yang berujung pada kekerasan.
"Kami akan terus mengawal proses ini. Keadilan bagi Prada Lucky adalah keadilan bagi seluruh prajurit muda Indonesia," ujar Dave.