
SETIAP tahun, pemerintah memotret kualitas pendidikan melalui Asesmen Nasional. Namun, potret itu nyaris selalu sama: skor literasi rendah, peringkat internasional memprihatinkan, dan jurang ketertinggalan kian menganga. Jika yang dibenahi hanya ruang kelas tanpa menyentuh rumah dan lingkungan, perbaikan pendidikan hanyalah ilusi di atas kertas rapor.
KONDISI DAN MASALAH
Sebagai bagian dari upaya memotret mutu pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi setiap tahun menyelenggarakan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) di seluruh satuan pendidikan. Instrumen ini mencakup tiga komponen utama: Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, serta Survei Lingkungan Belajar (SuLingJar), yang bersama-sama dirancang untuk menggambarkan kemampuan siswa, sikap, serta ekosistem belajar di sekolah.
AKM yang diujikan kepada siswa mencakup literasi dan numerasi, dua kemampuan dasar untuk belajar dan berpartisipasi di masyarakat. Survei Karakter mengukur sikap, nilai, keyakinan, dan kebiasaan yang mencerminkan karakter siswa. Adapun SuLingJar mengukur kualitas berbagai aspek input dan proses belajar-mengajar di sekolah, termasuk kondisi fisik, sosial, dan iklim belajar.
Khusus SuLingJar diisi siswa dan guru terkait dengan kondisi sekolah. Aspek yang diukur mencakup iklim belajar, iklim satuan pendidikan, keamanan, kebinekaan, indeks sosial ekonomi, kualitas pembelajaran, dan pengembangan guru. Menurut Kemendikdasmen (2024), hasil Rapor Pendidikan dapat dijadikan acuan untuk mengidentifikasi masalah, menemukan akar penyebabnya, dan melakukan pembenahan demi meningkatkan kualitas pendidikan.
Salah satu masalah yang kerap muncul dalam Rapor Pendidikan banyak sekolah ialah rendahnya nilai literasi. Fenomena ini tidak hanya terjadi di daerah dengan keterbatasan fasilitas, tetapi juga di sekolah perkotaan yang memiliki sarana pembelajaran lengkap. Kondisi tersebut selaras dengan temuan internasional: peringkat Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) untuk membaca sejak tahun 2000 konsisten berada di posisi lima besar terbawah dari sekitar 70 negara peserta.
Meski berbagai kebijakan dan program telah dilakukan pemerintah melalui Kemendikbudristek, hasil PISA belum menunjukkan perbaikan signifikan. Artinya, ada faktor-faktor lain di luar intervensi sekolah turut menjadi akar masalah. Sejak lama, Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa keberhasilan pendidikan ditentukan tripusat pendidikan: sekolah, keluarga, dan masyarakat. Jika pembenahan hanya menyasar sekolah, sementara orangtua dan masyarakat tidak dilibatkan, hasilnya akan terbatas.
PERAN KELUARGA DALAM LITERASI
Rumah adalah sekolah pertama bagi setiap anak dan orangtua adalah gurunya. Karena itu, membenahi kualitas anak juga perlu dimulai dari keluarga. Anak-anak memerlukan pembiasaan terhadap perilaku baik sejak dini, termasuk dalam membangun kebiasaan membaca (reading habit).
Dalam buku Living Values (2020), Diane Tilman menjelaskan bahwa setiap nilai positif yang ingin ditanamkan kepada anak harus dimulai sedini mungkin dan dilakukan secara konsisten. Proses penanaman nilai juga perlu dilakukan dengan cara yang menyenangkan agar anak tidak merasa terbebani atau menolak nilai tersebut.
Sejalan dengan itu, Jeanne Chall (1983) melalui teorinya tentang tahap perkembangan membaca anak menegaskan, kebiasaan membaca sebaiknya dimulai sejak usia 0 tahun. Pada tahap ini, orangtua dapat memperkenalkan buku melalui kegiatan membacakan cerita secara konsisten dan berinteraksi dengan anak terkait dengan isi cerita. Fase ini, yang mencakup usia 0-6 tahun, disebut fase pramembaca. Anak-anak yang terbiasa berinteraksi dengan buku sejak dini akan memiliki dasar kuat untuk perkembangan kognitif, bahasa, dan literasi.
Jika tahap pramembaca ini dijalankan dengan baik, anak akan membentuk keterikatan positif dengan buku. Rumah Inspirasi (2022) menyebut bahwa pada fase ini anak mulai mengenal huruf, kata, dan simbol dari cerita yang dibacakan. Mereka mungkin belum membaca dengan benar, tetapi sudah dapat menebak kata atau menceritakan ulang isi cerita berdasarkan gambar yang dilihat.
Memasuki usia sekolah (6-7 tahun), anak berada pada fase decoding atau tahap membaca awal. Pada tahap ini mereka memahami bahwa huruf memiliki bunyi (kesadaran fonologis) dan dapat mengaitkannya dengan makna kata dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, huruf b-o-l-a dibaca bola merujuk pada benda bulat untuk dimainkan. Pada akhir tahap ini, anak biasanya mampu memahami sekitar 4.000 kata dari pendengaran dan 600 kata dari bacaan.
Keberhasilan fase ini akan mengantarkan anak pada fase konfirmasi dan kefasihan (7-8 tahun), di mana mereka membaca dengan lebih lancar dan mulai penasaran terhadap isi bacaan. Orangtua dan sekolah pada tahap ini perlu menyediakan ragam bacaan yang menarik dan sesuai minat anak.
SINERGI SEKOLAH DAN MASYARAKAT
Saat anak memasuki usia sekolah, lingkungan barunya—sekolah—menjadi faktor sangat menentukan keberlanjutan kebiasaan membaca. Sekolah perlu bersinergi dengan keluarga untuk menjaga minat anak terhadap bacaan. Kegiatan seperti membaca nyaring (read aloud) dan bercerita dapat membantu memperkaya kosakata dan meningkatkan pemahaman bacaan.
Di sinilah perpustakaan sekolah memegang peran strategis. Pustakawan perlu memahami kebutuhan bacaan anak sesuai tahap perkembangan mereka. Anak pada fase membaca untuk belajar (9-14 tahun) biasanya memiliki rasa ingin tahu tinggi dan senang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber. Karena itu, menyediakan buku yang variatif dan relevan sangat penting.
Tahap berikutnya ialah fase perspektif ganda (15-17 tahun), di mana pembaca seharusnya mampu melihat suatu bacaan dari berbagai sudut pandang, berdiskusi, dan mengemukakan ide. Namun, kemampuan ini hanya dapat dicapai jika tahap-tahap sebelumnya telah dilalui dengan baik. Jika tidak, tidak jarang remaja masih berada pada fase konfirmasi dan kefasihan meski usianya sudah jauh lebih tua.
Masyarakat pun memiliki peran signifikan dalam membentuk generasi melek aksara. Lingkungan sosial yang mendorong interaksi dengan bacaan, menyediakan ruang baca publik, dan memberi teladan dalam membaca akan memperkuat kebiasaan ini. Kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat akan mempercepat pembentukan budaya literasi yang kokoh.
Pada akhirnya, keberhasilan literasi akan tecermin dalam Rapor Pendidikan sekolah. Nilai literasi yang membaik bukan hanya hasil kerja sekolah, tetapi juga buah sinergi tiga pusat pendidikan. Tanpa sinergi itu, Rapor Pendidikan akan tetap menjadi arsip tahunan—bukan peta jalan menuju bangsa yang melek aksara.