KEPUTUSAN Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk menambah rombongan belajar untuk sejumlah sekolah digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Menanggapi gugatan tersebut, Dedi Muyadi mengatakan keputusannya itu untuk kepentingan masyarakat.
"Bagi saya enggak ada masalah hari ini saya digugat sebagai gubernur, tetapi saya sudah menyelamatkan 47 ribu orang anak-anak Jawa Barat, bisa bersekolah dan sekolahnya tanpa biaya, itu bagi saya jauh lebih berbahagia,” kata Dedi di Pusdai Bandung, Kamis, 7 Agustus 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari situs PTUN Bandung, disebutkan gugatan yang ditujukan pada Gubernur Jawa Barat tercatat dalam nomor perkara 121/G/2025/PTUN.BDG dan didaftarkan di PTUN Bandung pada 1 Agustus 2025. Gugatan dilayangkan oleh Forum Kepala Sekolah SMA Swasta Jawa Barat bersama Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kabupaten Garut, Kota Cirebon, Kabupaten Kuningan, dan Kota Cimahi. Perkara tersebut saat ini dalam tahap Pemeriksaan Persiapan.
Dari informasi yang dihimpun Tempo, gugatan di PTUN tersebut terkait kebijakan Dedi Mulyadi dalam program Pencegahan Anak Putus Sekolah (PPAS) dengan cara menambah rombongan belajar di sejumlah sekolah menjadi maksimal 50 orang per kelas. Dedi Mulyadi mengklaim dengan kebijakan tersebut dirinya sudah menyelamatkan 47 ribu siswa dari ancaman putus sekolah dengan membolehkannya mendaftar di sejumlah sekolah kendati harus menambah jumlah rombongan belajar di kelas.
Dedi mengatakan saat ini, 47 ribu anak sudah masuk dalam Data Pokok Pendidikan atau Dapodik Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. "Mereka sudah menjadi siswa, dan di situ tugas saya sebagai gubernur sudah saya tunaikan yaitu memberikan ruang yang terbuka bagi anak-anak Jawa Barat untuk sekolah free terhadap fasilitas yang kami siapkan,” kata dia.
Dedi Mulyadi ragu jika kebijakannya tersebut dituduh menjadi penyebab sejumlah sekolah swasta mengalami penurunan jumlah siswa. “Kalau dinilai bahwa kebijakan itu membuat seklah swasta itu mengalami penurunan jumlah murid, kan dalam tren setiap tahun dalam statistik juga menurun,” kata dia.
Menurut Dedi, dalam tahun ini saja jumlah sekolah swasta bertambah. “Bertambah tahun ini itu 67 (sekolah), kalau 67 misalnya satu sekolah buka lima kelas, itu sudah berapa pengurangannya. Terus kemudian yang berikutnya, sekolah swasta yang relatif, bahasa kasarnya bonafid, elite, kan muridnya masih relatif cukup,” ujarnya.
Dedi pun mengatakan persoalan yang terjadi saat penerimaan siswa baru disebabkan oleh kurangnya jumlah sekolah. Menurut dia, pemerintah juga telah lambat membangun sekolah sesuai kebutuhan daerah.
"Dan yang paling menyedihkan adalah jumlah sekolah negeri yang kurang itu yang tidak sesuai dengan jumlah penduduk dan jumlah angkatan sekolahnya justru terjadi di Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan di Kabupaten Bekasi,” kata Dedi.
Karena itu, Dedi mengaku heran kebijakannya soal rombongan belajar itu disorot banyak pihak. "Pertanyaan saja, kenapa ketika pemerintah provinsi tidak menganggarkan anggaran untuk bangun sekolah kok tidak dikritik, kenapa ketika pemerintah provinsi tidak ada anggaran untuk merehabilitasi ruang kelas satu rupiah pun kok tidak dikritik," ujarnya.
Dedi pun menyatakan siap menghadiri sidang gugatan tersebut jika pengadilan memintanya. “Kalau saya siap saja, enggak ada masalah. Ini kan sidang PTUN, bukan sidang gugatan pidana. PTUN keputusannya adalah administrasi negara,” kata dia.
Kebijakan Dedi Mulyadi itu tertuang dalam Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah Jenjang Pendidikan Menengah di Provinsi Jawa Barat. Keputusan itu memuat tujuan pencegahan anak putus sekolah, antara lain, meningkatkan akses layanan pendidikan bagi murid yang terkendala dalam penerimaan murid baru secara reguler. Kemudian, memberikan pemenuhan hak warga Jawa Barat untuk mendapatkan layanan pendidikan bermutu, serta meningkatkan angka partisipasi sekolah ke SMA atau SMK.
Calon murid yang disasar berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu, dari panti asuhan yang terdaftar pada dinas sosial, yang terdampak bencana alam, serta murid bina lingkungan sosial budaya. Adapun satuan pendidikannya yang memfasilitasi adalah sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) negeri serta SMA Terbuka.
Calon murid ditempatkan pada satuan pendidikan sebanyak-banyaknya 50 murid disesuaikan dengan hasil analisis data luas ruang kelas yang akan digunakan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Forum Kepala Sekolah Menengah Atas Swasta Provinsi Jawa Barat sebelumnya telah mendesak Dedi Mulyadi mencabut aturan soal penambahan daya tampung siswa SMA dan SMK negeri hingga 50 orang per kelas itu. Ketua Umum Forum Kepala SMA Swasta Jawa Barat Ade D. Hendriana mengatakan alasan penolakan aturan itu karena bertentangan dengan aturan menteri perihal luas ruang kelas dan jumlah maksimalnya.
Forum itu juga khawatir dampaknya akan membuat banyak sekolah swasta tutup karena tidak diberi ruang bersaing. “Kebijakan tersebut akan membenturkan sekolah negeri dan swasta sehingga berpotensi terjadinya kesenjangan sosial yang semakin tajam dalam dunia pendidikan,” kata dia kepada Tempo pada Rabu, 2 Juli 2025.
Ade menyebutkan penerimaan siswa di SMA dan SMK negeri bagi anak yang dicegah putus sekolah itu merupakan aturan baru di luar pembahasan dan pelaksanaan Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang prosesnya hampir selesai.
“Kalau pencegahan anak putus sekolah ini dilaksanakan, sudah tidak sesuai dengan standar prosedur operasional SPMB karena munculnya di akhir,” kata Ade. Dia menyebutkan kebijakan ini berpotensi memunculkan siswa titipan, dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap SPMB.