Jadi intinya...
- Wuchang picu revolusi; Qing goyah karena ekonomi timpang dan korupsi.
- 72 martir Guangzhou jadi simbol; Sun Yat-sen galang dukungan dana.
- Sun Yat-sen satukan dukungan; Nanjing jadi ibu kota Republik Tiongkok.
Liputan6.com, Jakarta Film 1911 menjadi salah satu drama sejarah yang diminati banyak penggemar sinema. Bukan sekedar tema cerita yang kuat, namun detail momen masa revolusi Xinhai tahun 1911 telah dibawakan apik oleh para aktornya. Secara umum, film ini memulai alur ceritanya dari era pemberontakan Wuchang yang memiliki tujuan menggulingkan Dinasti Qing. Setelah kerajaan itu runtuh, mimpi untuk membentuk negara yang berdaulat perlahan tercapai lewat pendirian Republik Tiongkok sebelum abad ke-20 berakhir.
Saat menonton film ini, Anda akan menemukan bagaimana tokoh-tokoh kunci seperti Huang Xing dan Sun Yat‑sen bersiasat mengatur intrik politik, untuk memenangkan pertempuran berdarah dan republik pun lahir. Ketegangan juga memuncak lewat kematian para martir hingga pengunduran diri Kaisar Puyi pada Februari 1912, sampai Yuan Shikai resmi dilantik di Beijing pada Maret 1912.
Bagi yang belum tahu, ada sosok legendaris yang memerankan tokoh di film ini, seperti Jackie Chan hingga Winston Chao. Seperti apa keseruan film ini? Simak sinopsis berikut, sebelum Anda menyaksikannya secara langsung apiknya karya visual yang pertama tayang pada 23 September 2011 itu, selengkapnya, dirangkum Liputan6, Rabu (30/6).
1. Pemberontakan Wuchang Memicu Lonjakan Revolusi yang Menyayat Kekuasaan Qing
Pemberontakan Wuchang yang terjadi pada 1911 menjadi titik api yang membakar seluruh struktur kekuasaan Dinasti Qing. Berawal dari gerakan kecil yang dipimpin oleh para revolusioner muda dan kelompok Tentara Baru di kota Wuchang, perlawanan itu dengan cepat berkembang menjadi pemberontakan besar yang mengguncang seluruh negeri. Di balik aksi ini terdapat ketidakpuasan mendalam terhadap kesenjangan ekonomi, korupsi dalam pemerintahan Qing, serta diskriminasi terhadap kelompok Han oleh elite Manchu.
Sosok Huang Xing, tokoh militer yang baru pulang dari Jepang dan telah lama bersimpati pada gerakan revolusi, mengambil peran sentral dalam pertempuran Wuchang. Ia memimpin pasukan dengan keberanian dan strategi yang membuat kekuatan Qing goyah dalam waktu singkat. Keberhasilan Wuchang menginspirasi daerah lain untuk mengangkat senjata, membuat api revolusi cepat menyebar dari satu provinsi ke provinsi lain. Reaksi berantai ini sulit dibendung karena rakyat telah muak dengan pemerintahan yang tidak adil dan menindas.
Dampaknya begitu besar hingga hanya dalam waktu dua bulan, lebih dari sepuluh provinsi menyatakan pemisahan diri dari kekuasaan Qing dan mendukung gagasan republik. Pemberontakan ini menjadi bukti nyata bahwa keinginan rakyat untuk merdeka dari monarki bukan lagi sekadar retorika, tetapi sudah menjadi gerakan nasional yang tak bisa dibendung. Film 1911 menggambarkan momen ini dengan intensitas dramatis yang tinggi, memperlihatkan bahwa perubahan besar seringkali lahir dari letupan kecil yang membara dalam dada rakyat tertindas.
2. Pemberontakan Guangzhou Pada 27 April 1911 Menggambarkan Pengorbanan Para Revolusioner
Setelah keberhasilan Wuchang, para revolusioner mencoba menggulingkan kekuasaan Qing di Guangzhou melalui pemberontakan kedua yang terjadi pada 27 April 1911. Meski misi tersebut berakhir tragis dengan kegagalan dan jatuhnya puluhan korban, semangat perjuangan tidak padam, justru semakin berkobar. Sebanyak 72 pejuang tewas dalam aksi tersebut, yang kemudian dikenal sebagai "72 Martir Huanghuagang", menjadi simbol keberanian dan pengorbanan tertinggi dalam sejarah revolusi.
Kematian para martir ini mengguncang hati rakyat Tiongkok, terutama di kalangan intelektual dan diaspora yang menyaksikan bagaimana sebuah perjuangan bisa dibayar dengan nyawa. Di sinilah film 1911 memperlihatkan sisi emosional dari perjuangan dan tangisan keluarga yang ditinggalkan, rasa kehilangan yang mendalam, serta tekad yang justru semakin bulat untuk tidak menyerah.
Keberanian para martir memberikan legitimasi moral bagi gerakan revolusioner dan menarik perhatian dunia internasional, terutama para dermawan Tionghoa di luar negeri. Sun Yat-sen memanfaatkan momentum ini untuk menggalang dana, mengonsolidasikan kekuatan, dan membangun jaringan diplomasi revolusioner. Tanpa pengorbanan 72 martir itu, kemungkinan besar revolusi tidak akan memperoleh daya dukung moral dan material sebesar yang kemudian terjadi. Film ini dengan lihai mengangkat peristiwa tragis menjadi katalis perubahan sejarah yang menentukan.
3. Sun Yat-sen Menyatukan Dukungan Politik dan Diplomasi untuk Membentuk Republik
Sementara medan tempur bergolak, Sun Yat-sen mengambil jalur diplomasi dengan mengunjungi berbagai negara dan komunitas Tionghoa diaspora guna mencari dukungan bagi revolusi. Ia meyakinkan mereka bahwa satu-satunya jalan bagi Tiongkok untuk maju adalah dengan mengganti sistem monarki absolut menjadi republik yang berbasis hukum dan partisipasi rakyat. Melalui pendekatan intelektual dan strategi komunikasi yang cermat, Sun berhasil merangkul para saudagar, pemikir, dan simpatisan yang sebelumnya apatis terhadap perlawanan bersenjata.
Sun juga dikenal sebagai pemimpin yang tidak otoriter. Ia memilih jalan kompromi, bersedia berdialog dengan berbagai faksi yang berbeda ideologi asalkan memiliki tujuan sama: menjatuhkan kekuasaan Qing. Dalam film 1911, karakter Sun Yat-sen ditampilkan sebagai pribadi yang tenang, bijak, namun tetap visioner, hingga berhasil menguasai Nanjing dan menjadikannya sebagai ibu kota Republik Tiongkok yang baru.
Melalui kepemimpinan dan jejaring diplomatik yang luas, Sun akhirnya dipilih sebagai Presiden Sementara Republik Tiongkok pada 1 Januari 1912 di Nanjing selama beberapa bulan, hingga memilih mundur dan digantikan seorang jenderal bernama Yuan Shikai.