
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bali mencatat sebanyak 6.521,81 hektare lahan sawah beralih fungsi dalam kurun waktu 6 tahun belakangan atau selama 2019-2024. Rata-rata luas lahan sawah beralih fungsi per tahun mencapai 1,53 persen.
"Pada intinya dalam 6 tahun ada pengurangan sawah 6.521,81 hektare, kalau dipersentase dari luasan sawah dari lahan baku sawah atau Luas Sawah Dilindungi (LSD) itu sekitar 9,19 persen se-Bali dengan rata-rata per tahun adalah 1,53 persen," kata Kabid Penataan dan Pemberdayaan Kantor Wilayah BPN Bali, I Made Herman Susanto, dalam Rapat Pansus DPRD Bali tentang Penegakan Peraturan Daerah Terkait Tata Ruang dan Perizinan di Gedung DPRD Bali, Rabu (17/9).
Luas lahan persawahan di Bali tahun 2019 adalah 70.995,87 hektare. Pada tahun 2024 mencapai 64.474 hektare. Menurutnya, alih fungsi lahan ini sebenarnya bukan merupakan faktor utama penyebab banjir.
"Kalau melihat kecenderungan ini sebenarnya alih fungsi lahan tidak terlalu besar seperti disampaikan di media. Mungkin kalau pelanggaran terkait itu, biasanya mereka melanggar kaitannya tidak punya izin karena kalau memohon izin pasti melalui mekanisme sistem OSS (Online Single Submission)," katanya.

Menurutnya, alih fungsi lahan terjadi karena perubahan dalam tata ruang. Dia mencontohkan di Kota Denpasar dalam 10 tahun belakangan, ada konversi dari lahan bukan sawah menjadi kawasan perencanaan. Lahan bukan sawah ini merupakan lahan tidak efektif.
"Di Kota Denpasar karena dia lahannya sudah dikonversi dalam 10 tahun itu menjadi perencanaan, bukan tanah sawah karena tidak efektif dia, di tata ruangnya kemungkinan berubah sehingga bisa dilakukan pengurangan untuk LSD itu sendiri," katanya.
Adapun rinciannya berikut ini:
Kabupaten Klungkung pada tahun 2019 mencapai 3.572,22 hektare menjadi 3.251 hektare pada tahun 2024;
Kabupaten Badung dari 9.072,48 hektare menjadi 8.301 hektare;
Kabupaten Bangli dari 2.210,45 hektare menjadi 1.967 hektare;
Kabupaten Buleleng dari 8.860,66 hektare menjadi 8.015 hektare;
Kabupaten Gianyar dari 11.780,80 hektare menjadi 10.035 hektare;
Kabupaten Jembrana dari 7.139,68 hektare menjadi 6.691 hektare;
Kabupaten Tabanan dari 19.611,39 hektare menjadi 18.897 hektare;
Kabupaten Karangasem dari 6.584,14 menjadi 5.976 hektare;
Kota Denpasar dari 2.164 hektare menjadi 1.341 hektare.
"Dari data rekapan itu memang Denpasar wilayah paling tinggi penurunannya yaitu dalam 6 tahun itu 38,83 persen, per tahunnya 6,34 persen. Selanjutnya disusul Gianyar yang dalam 6 tahunnya 18,85 persen dan per tahunnya 2,47 persen berkurangnya. Yang paling kecil adalah Tabanan karena wilayah Tabanan cukup besar wilayahnya untuk LSD," katanya.

Menteri Lingkungan Hidup (LH), Hanif Faisol Nurofiq, mengungkapkan cuaca ekstrem dan alih fungsi lahan di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi dua faktor utama penyebab banjir di Bali pada Rabu (10/9) lalu.
Hanif mengatakan, luas DAS berpohon di Bali mencapai 45 ribu hektare. Dari jumlah itu, kini hanya tersisa 15 ribu hektare atau sekitar 3 persen. Padahal, lanjut dia, idealnya DAS yang mampu menampung atau menyerap air hujan mencapai 30 persen.
"Bahwa DAS di Bali itu ada Ayung, di bawahnya ada 4 DAS. Ada DAS Mati, DAS Badung, DAS Padu. Itu semuanya hulunya DAS Ayung dengan jumlah totalnya 49.500 hektare. Kemudian dari 49.500 hektare itu yang ada pohonnya hanya sekitar 1.500 hektare atau boleh dikatakan hanya 3 persen," katanya usai Rakor Penanganan Banjir di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Sabtu (13/9).