
Indonesia kerap dianggap gagal menceritakan kisahnya sendiri. Baik di forum domestik maupun internasional, narasi tentang Indonesia sering kali ditulis oleh orang luar, bukan oleh anak bangsa sendiri. Pandangan ini jelas merugikan, seolah bangsa ini tidak memiliki memori kolektif maupun peradaban yang layak dipertontonkan. Padahal, sejarah panjang Indonesia justru menyimpan kisah besar yang bukan hanya penting untuk bangsa ini, melainkan juga bagi kemanusiaan secara global.
Kisah besar itu bermula jauh sebelum istilah “Indonesia” lahir. Sekitar 75 ribu tahun lalu, letusan dahsyat Gunung Toba mengirimkan lava dan debu ke seluruh dunia. Bencana itu memicu “reset” kemanusiaan: populasi manusia turun drastis hingga hanya tersisa kelompok-kelompok kecil dengan daya kognitif tinggi. Dari tragedi itulah, revolusi kognisi yang dikenal dalam sejarah manusia 70 ribu tahun lalu menemukan momentum. Dengan kata lain, Indonesia bukan sekadar saksi, melainkan panggung utama dari drama besar keberlangsungan manusia.
Sejarah kemudian menunjukkan bagaimana nusantara menjadi ladang peradaban. Pada milenium pertama, Dinasti Syailendra membangun mahakarya arsitektur seperti Candi Borobudur—monumen spiritual sekaligus kecanggihan teknik yang membuat dunia kagum hingga kini.

Memasuki milenium kedua, Majapahit tampil sebagai kerajaan maritim terbesar yang menguasai wilayah luas di Asia Tenggara. Selama 200 hingga 300 tahun, Majapahit meletakkan standar kejayaan yang menjadi fondasi identitas politik dan kebudayaan Indonesia.
Namun, kebesaran itu tidak abadi. Seiring abad ke-15, ketika Gutenberg menemukan mesin cetak di Eropa dan arus pengetahuan berlari cepat, kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara justru melemah. Kerajaan Khmer runtuh, Vietnam jatuh ke tangan Dinasti Ming, dan nusantara kehilangan daya adaptasi. Pada abad ke-17, Indonesia kian rentan menghadapi ekspansi ekonomi dan militer Eropa.
Hal ini diperparah karena Tiongkok tidak mengeksternalisasi kekuatannya akibat transisi dari Dinasti Ming ke Dinasti Qing, yang lebih memilih fokus pada domestikasi diri. Tidak adanya countervailing force membuat nusantara jatuh ke dalam cengkeraman kolonialisme selama 350 tahun—sebuah “masa penghinaan” yang bahkan lebih panjang daripada “abad penghinaan” yang dialami Tiongkok.
Kisah-kisah sejarah ini penting karena membentuk identitas kolektif bangsa. Namun ironisnya, banyak orang Indonesia tidak menyadarinya. Dalam wacana publik, narasi kebangsaan lebih sering berhenti pada proklamasi 1945 dan masa-masa setelahnya, seakan-akan peradaban ini tidak memiliki akar yang dalam. Padahal, sebuah bangsa hanya bisa melangkah ke depan bila ia paham dari mana ia berasal.
Narasi yang Hilang dan Tantangan Identitas
Lebih jauh, peradaban tidak hanya ditentukan oleh siapa yang berkuasa, tetapi oleh sejauh mana sebuah bangsa mampu mendistribusikan kognisi. Kemajuan manusia lahir dari kemampuan berpikir, menalar, dan menularkan pengetahuan. Dalam konteks nusantara, sejarah letusan Toba hingga kejayaan Majapahit adalah bukti bahwa Indonesia memiliki peran dalam mengangkat peradaban berbasis kognisi.
Sayangnya, kemampuan bercerita tentang kejayaan itu kurang terdistribusi. Kita cenderung memiliki “amnesia sejarah”, mudah melupakan peristiwa besar yang mestinya jadi sumber kebanggaan dan pelajaran. Akibatnya, bangsa ini sering dipandang hanya sebagai objek geostrategis—pasar besar, cadangan sumber daya, atau arena perebutan pengaruh global—bukan sebagai subjek dengan narasi historis yang kuat.
Padahal, jika bangsa ini mau menata ulang memori kolektifnya, ada modal besar yang bisa dipakai untuk membangun 'grand narrative' Indonesia. Modal itu ada dalam artefak sejarah, tradisi budaya, dan bukti-bukti peradaban yang tersebar dari Sumatra hingga Papua. Narasi inilah yang seharusnya dijadikan fondasi untuk memperkuat identitas, bukan hanya slogan-slogan politik jangka pendek.
Menceritakan kisah besar Indonesia juga penting dalam konteks global. Dunia hari ini mencari cerita alternatif terhadap dominasi Barat. China berhasil menarasikan “kebangkitan kembali” setelah abad penghinaan. India mengemas kisah peradaban ribuan tahun sebagai kekuatan 'soft power' dalam diplomasi internasional. Indonesia pun punya peluang yang sama, bahkan lebih kuat, karena kisahnya terkait langsung dengan sejarah kemanusiaan global.
Masalahnya, narasi besar ini belum benar-benar kita kemas. Di dalam negeri, pelajaran sejarah sering terjebak pada hafalan tahun dan peristiwa, tanpa menghubungkan makna filosofisnya dengan kondisi sekarang. Di luar negeri, diplomasi budaya Indonesia belum maksimal mengangkat kisah ini sebagai modal soft power. Akibatnya, Indonesia lebih sering tampil sebagai “negara berkembang” dengan masalah-masalah klasik, bukan sebagai peradaban yang pernah memberi arah pada dunia.
Membangun Kisah Besar untuk Masa Depan
Kisah besar Indonesia bukan sekadar catatan romantik masa lalu. Ia punya relevansi nyata terhadap masa kini dan masa depan. Misalnya, letusan Toba yang “mereset” kemanusiaan bisa menjadi pengingat betapa rentannya peradaban terhadap krisis ekologis. Kejayaan Majapahit bisa dibaca sebagai bukti pentingnya solidaritas maritim dan keterhubungan antarwilayah. Bahkan periode kolonialisme yang panjang bisa menjadi cermin agar bangsa ini tidak kembali terjebak dalam pola ketergantungan baru di era globalisasi.
Lebih dari itu, narasi sejarah ini bisa menjadi energi simbolik untuk memperkuat rasa percaya diri bangsa. Selama ini, salah satu persoalan utama Indonesia adalah rendahnya kepercayaan diri kolektif. Kita sering minder menghadapi negara-negara maju, padahal sejarah mencatat bahwa nenek moyang bangsa ini pernah menjadi penggerak peradaban. Jika bangsa lain bisa membangkitkan narasi kebesarannya untuk memperkuat posisi di dunia, mengapa Indonesia tidak?
Tentu, menceritakan kisah besar tidak berarti menutup mata dari tantangan. Indonesia hari ini menghadapi ketimpangan, korupsi, kualitas pendidikan yang rendah, hingga polarisasi politik. Namun justru karena itulah, kisah sejarah dibutuhkan sebagai jangkar identitas. Ia bisa menjadi sumber nilai dan inspirasi untuk mencari jalan keluar dari masalah kontemporer.
Kita perlu menata ulang cara mengajarkan sejarah, cara mempopulerkan narasi bangsa di ruang publik, serta cara mengemasnya dalam diplomasi internasional. Sejarah bukan sekadar hafalan atau romantisme, melainkan energi kognitif untuk membangun bangsa.
Akhirnya, bangsa ini harus berani berkata: Indonesia punya kisah besar. Dari letusan Toba yang mengguncang dunia, dari kejayaan Syailendra dan Majapahit, hingga derita panjang kolonialisme. Semua itu adalah bagian dari memori kolektif yang memberi makna siapa kita hari ini.
Menceritakan kisah itu bukan sekadar kebutuhan akademis atau diplomatis. Ia adalah kewajiban moral terhadap generasi penerus. Tanpa kisah besar, kita hanya akan jadi penonton dalam panggung sejarah global. Dengan kisah besar, kita bisa berdiri sejajar, percaya diri, dan berkontribusi nyata pada peradaban dunia.