Jakarta (ANTARA) - Center of Economics and Law Studies (Celios) melalui hasil studinya memperkirakan, total penerimaan negara apabila pemerintah menerapkan beragam pajak progresif dapat mencapai Rp524 triliun per tahun.
Nilai tersebut bersumber dari 10 instrumen pajak dan dua instrumen kebijakan yang diusulkan Celios, mulai dari pajak kekayaan, pajak karbon, hingga rekomendasi kebijakan untuk penurunan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen ke delapan persen.
“Ada banyak sekali komponen pajak alternatif, yang kemudian kita coba elaborasi, hitung satu persatu, sebagian menggunakan data baseline dari standar internasional, kemudian kita estimasi dan kita jumlahkan pajak alternatif ini,” kata Direktur Kebijakan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar saat diskusi di Jakarta, Selasa.
Secara rinci, potensi penerimaan negara dari pajak kekayaan mencapai Rp81,6 triliun, pajak karbon Rp76,4 triliun, pajak produksi batu bara Rp66,5 triliun, pajak windfall profit sektor ekstraktif Rp50 triliun, dan pajak penghilangan keanekaragaman hayati Rp48,6 triliun.
Baca juga: Celios: Perbankan jadi sumber utama pendanaan bagi pindar
Selanjutnya pajak digital Rp29,5 triliun, peningkatan tarif pajak warisan Rp20 triliun, pajak capital gain Rp7 triliun, pajak kepemilikan rumah ketiga Rp4,7 triliun, serta pajak cukai minuman berpemanis dalam kemasan Rp3,9 triliun.
Kemudian, dua instrumen kebijakan yang diusulkan yakni pengakhiran insentif pajak yang pro konglomerat diproyeksikan dapat mengumpulkan penerimaan sebesar Rp137,4 triliun serta potensi penurunan tarif PPN dari 11 persen ke 8 persen sebesar Rp1 triliun.
Terkait perhitungan pajak kekayaan, Celios menggunakan asumsi tarif dua persen dari total 16 kekayaan pada 50 orang terkaya di Indonesia.
Celios mencatat bahwa barisan 50 orang terkaya tersebut memiliki kekayaan terendah sebesar Rp15 triliun dan rerata kekayaannya mencapai Rp159 triliun.
Baca juga: 10 orang terkaya Indonesia Juli 2025 versi Forbes: Low teratas
“Kami mengestimasi dua persen pajak kekayaan dari aset orang superkaya di Indonesia selama 1 tahun, dengan hanya memajaki 50 orang saja, itu sudah mencapai jumlahnya sekitar Rp81 triliun (potensi penerimaan). Dan kalau kita lihat data terakhir, kalau tidak salah ada sekitar hampir 2.000 orang superkaya di Indonesia, potensi ini jauh lebih besar dari yang kami estimasi saat ini,” jelas Media.
Selanjutnya untuk pajak karbon, Celios menggunakan asumsi besaran emisi akibat penggunaan lahan. Merujuk temuan Global Carbon Budget Report tahun 2023 yang mengungkapkan rata-rata tahunan emisi karbon akibat penggunaan lahan sepanjang 2013-2022 di Indonesia telah mencapai 930 juta ton.
Perhitungan mengasumsikan nilai tukar per 5 Mei 2025 yang berada di posisi Rp16.421 per dolar AS. Dengan asumsi tarif sebesar 5 dolar AS per tCO2e, maka dihasilkan estimasi pajak karbon sebesar Rp76,36 triliun.
Adapun pengakhiran insentif pajak pro konglomerat, catat Celios, merujuk pada upaya reformasi kebijakan perpajakan yang selama ini memberi pengecualian, penangguhan, pengurangan, bahkan pembebasan pajak kepada korporasi besar tanpa justifikasi manfaat ekonomi yang jelas bagi masyarakat.
Baca juga: Muhaimin: Dunia industri pelaku pemagangan dapat super insentif pajak
Studi Celios mengusulkan agar pemerintah Indonesia meninjau ulang seluruh skema insentif pajak, serta mendorong realokasi belanja perpajakan yang selama ini lebih menguntungkan konglomerat dengan potensi penerimaan sebesar Rp137,4 triliun.
Sementara terkait dengan PPN, Celios memproyeksikan penurunan tarif PPN hingga delapan persen dapat meningkatkan konsumsi masyarakat sebesar 0,74 persen dan mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp133,65 triliun.
Menurut Celios, dampak pengganda ini yang pada akhirnya turut meningkatkan kontribusi terhadap penerimaan pajak bersih hingga mencapai Rp1 triliun per tahun.
Media meyakini bahwa Kementerian Keuangan telah mengidentifikasi beragam pajak progresif tersebut dengan beberapa di antaranya bahkan menjadi pembahasan seperti pajak cukai minuman berpemanis dalam kemasan.
Ia pun berharap pendekatan tata kelola fiskal pemerintah bisa jauh lebih adil dengan mengoptimalkan pajak-pajak yang bersifat progresif.
Sehingga penerimaan tambahan itu dapat digunakan untuk membiayai program perlindungan sosial yang lebih baik.
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.