Liputan6.com, Jakarta - Bagi sebagian perempuan, siklus menstruasi bukan sekadar pendarahan bulanan. Ada perubahan fisik dan emosional yang terjadi dari hari ke hari, dipicu oleh naik turunnya hormon estrogen, progesteron, dan testosteron. Rata-rata, siklus ini berlangsung sekitar 28 hari.
Dilansir dari Health, setiap fase memiliki karakteristik tersendiri, lengkap dengan gejala fisik dan psikologis yang berbeda. Misalnya, di awal menstruasi energi cenderung rendah dan suasana hati lebih mudah terpengaruh.
Sementara saat ovulasi, banyak perempuan merasa lebih percaya diri dan aktif secara sosial. Perubahan ini tergolong wajar. Namun, pada sebagian orang, gejalanya bisa lebih ekstrem.
Kondisi seperti PMS (premenstrual syndrome) atau PMDD (premenstrual dysphoric disorder) bahkan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Memahami pola emosional ini menjadi langkah awal untuk mengelolanya.
Selain itu, ada kondisi medis yang membuat menstruasi tidak teratur atau bahkan berhenti sama sekali. Mengenali dan menangani gejala sejak dini dapat mencegah masalah kesehatan yang lebih serius di kemudian hari.
1. Fase Menstruasi (Hari 1–8)
Fase ini dimulai saat darah menstruasi keluar dan berlangsung sekitar lima sampai delapan hari.
Pada periode ini, kadar estrogen dan progesteron berada di titik terendah. Penurunan hormon ini memicu pelepasan lapisan dinding rahim yang menyebabkan pendarahan.
Secara fisik, perempuan sering merasakan kram, nyeri punggung, lemas, hingga perut kembung.
Dari sisi emosional, rendahnya kadar hormon dapat membuat suasana hati lebih mudah berubah, bahkan muncul rasa sedih atau mudah tersinggung.
Aktivitas berat biasanya terasa lebih sulit dilakukan karena energi tubuh menurun.
Mengatur pola makan dan istirahat yang cukup bisa membantu meredakan keluhan.
Olahraga ringan seperti peregangan atau yoga juga dapat mengurangi nyeri haid dan meningkatkan mood meski dalam kondisi energi rendah.
2. Fase Folikular (Hari 6–14)
Fase folikular dimulai bersamaan dengan menstruasi, tetapi berlanjut setelah pendarahan selesai.
Di tahap ini, estrogen mulai meningkat, memicu pelepasan hormon FSH (follicle-stimulating hormone) dan LH (lutenizing hormone) dari kelenjar pituitari. Hormon-hormon ini membantu pematangan sel telur dalam ovarium.
Peningkatan estrogen juga berdampak positif pada suasana hati sehingga membuat perempuan merasa lebih berenergi, optimis, dan fokus.
Estradiol, salah satu jenis estrogen, dapat membantu kejernihan berpikir sehingga fase ini sering dianggap waktu terbaik untuk merencanakan tugas penting atau proyek kreatif.
Secara sosial, banyak perempuan menjadi lebih terbuka dan komunikatif. Aktivitas olahraga intensitas sedang hingga berat juga lebih mudah dilakukan karena stamina meningkat.
Memanfaatkan fase ini untuk mengejar target pekerjaan atau kegiatan sosial dapat memberikan hasil yang optimal.
3. Fase Ovulasi (Sekitar Hari ke-14)
Ovulasi terjadi saat sel telur dilepaskan dari ovarium dipicu oleh puncak hormon LH, estrogen, dan sedikit kenaikan testosteron.
Momen ini biasanya berada di pertengahan siklus, meski waktunya bisa bervariasi.
Secara fisik, sebagian perempuan merasakan peningkatan libido, energi, dan rasa percaya diri.
Ada pula yang merasa lebih menarik secara penampilan, baik karena faktor hormonal maupun persepsi diri yang lebih positif.
Fase ovulasi sering menjadi periode di mana perempuan lebih aktif secara sosial dan lebih berani mencoba hal baru.
Namun, bagi mereka yang sedang merencanakan kehamilan, fase ini adalah waktu paling subur.
Sebaliknya, bagi yang tidak menginginkan kehamilan penting untuk lebih waspada.
Menjaga pola makan sehat dan mengatur jadwal istirahat dapat membantu menjaga energi selama fase ini.
4. Fase Luteal (Hari 15–28)
Fase luteal sering menjadi yang paling menantang secara emosional, terutama jika kehamilan tidak terjadi. Setelah ovulasi, hormon progesteron meningkat sementara estrogen perlahan menurun.
Jika tidak ada pembuahan, kadar kedua hormon ini akan turun drastis menjelang menstruasi berikutnya.
Perubahan hormon ini dapat memicu PMS dengan gejala seperti nyeri payudara, kembung, sakit kepala, hingga perubahan suasana hati yang tajam.
Sebagian perempuan juga mengalami PMDD (premenstrual dysphoric disorder) yang gejalanya lebih parah dan mengganggu aktivitas harian.
Menurut penelitian, hingga 95 persen perempuan usia reproduktif mengalami gejala PMS, meskipun tingkat keparahannya berbeda-beda.
Mengurangi asupan kafein, berolahraga ringan, serta menerapkan teknik relaksasi seperti meditasi atau pernapasan dalam dapat membantu mengatasi keluhan di fase ini.
Penting juga untuk mengenali pola gejala agar dapat mengambil langkah pencegahan di siklus berikutnya.