Jakarta (ANTARA) - Istilah neurodivergent semakin sering digunakan untuk menggambarkan keberagaman cara kerja otak manusia. Kata ini tidak dapat dilepaskan dari istilah neurodiversity atau neurodiversitas, yang diperkenalkan oleh sosiolog asal Australia, Judy Singer, pada 1998 untuk mengakui bahwa setiap otak manusia berkembang secara unik, layaknya sidik jari yang tidak pernah sama, bahkan pada anak kembar identik.
Secara sederhana, neurodivergent merujuk pada individu yang perkembangan atau cara kerja otaknya berbeda dari kebanyakan orang yang disebut neurotypical. Istilah ini bukan istilah medis, tetapi dapat mencakup orang dengan kondisi medis tertentu maupun tanpa diagnosis medis. Perbedaan ini dapat membawa tantangan sekaligus kelebihan, tergantung pada karakteristik masing-masing individu.
Baca juga: Psikolog: Musik berperan penting rangsang kinerja otak anak
Konsep dan perbedaan dengan “Normal”
Berbeda dengan istilah “normal” dan “abnormal” yang kerap digunakan dalam dunia medis, neurodivergent menekankan pada perbedaan, bukan kekurangan. Tidak ada batas pasti yang memisahkan cara kerja otak yang dianggap normal atau tidak. Dalam kehidupan sehari-hari, perbedaan ini dapat terlihat pada kemampuan tertentu, misalnya daya ingat yang kuat, kemampuan memvisualisasikan objek tiga dimensi, atau menyelesaikan perhitungan matematika kompleks tanpa bantuan alat.
Contohnya, seorang anak dengan autism spectrum disorder (ASD) mungkin memiliki kesulitan berinteraksi sosial, namun menunjukkan bakat menggambar luar biasa tanpa pelatihan khusus. Sebaliknya, orang dewasa neurotypical mungkin mengembangkan kemampuan menggambar setelah bertahun-tahun belajar. Kedua situasi ini menunjukkan bahwa perbedaan cara kerja otak bukanlah cacat, melainkan variasi alami.
Baca juga: Tim peneliti rilis temuan bersejarah dalam pemetaan otak skala meso
Jenis-jenis neurodivergent
Meskipun tidak ada kriteria medis baku, beberapa kondisi yang umum dikaitkan dengan neurodivergent antara lain:
- Autism spectrum disorder (termasuk Asperger’s syndrome)
- Attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD)
- Dyslexia (kesulitan membaca)
- Dyscalculia (kesulitan berhitung)
- Dysgraphia (kesulitan menulis)
- Dyspraxia (kesulitan koordinasi)
- Down syndrome
- Tourette syndrome
- Williams syndrome
- Prader-Willi syndrome
- Gangguan pemrosesan sensorik (sensory processing disorders)
- Gangguan kecemasan sosial
- Kondisi kesehatan mental seperti bipolar disorder dan obsessive-compulsive disorder (OCD)
Baca juga: Suplemen yang sebaiknya dihindari demi kesehatan otak
Tantangan dan kelebihan
Sebagian individu neurodivergent menghadapi kesulitan karena sistem atau lingkungan yang tidak mengakomodasi kebutuhan mereka, seperti wawancara kerja yang terlalu menekankan interaksi sosial atau lingkungan kerja yang bising. Namun, dengan penyesuaian sederhana, potensi mereka dapat berkembang optimal. Misalnya, penggunaan noise-cancelling headphones bagi pekerja yang sensitif terhadap kebisingan, atau proses rekrutmen berbasis keterampilan.
Keberhasilan dan penerimaan
Banyak tokoh sukses yang diketahui atau diyakini neurodivergent, seperti ilmuwan Temple Grandin, aktor Sir Anthony Hopkins, pesenam Simone Biles, hingga aktivis lingkungan Greta Thunberg. Bahkan, beberapa perusahaan besar dunia telah menerapkan proses rekrutmen inklusif untuk menjaring talenta neurodivergent sebagai keunggulan kompetitif.
Menjadi neurodivergent bukanlah kondisi yang dapat dicegah atau disembuhkan karena merupakan bagian dari keragaman alami otak manusia. Dengan dukungan yang tepat, individu neurodivergent dapat memaksimalkan kelebihan mereka dan berkontribusi secara signifikan di berbagai bidang.
Baca juga: China kembangkan komputer dengan kemampuan berpikir mirip otak kera
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.